Presiden Setujui Kriminalisasi Kewenangan KPK Jika Terbitkan Perppu

Rencana penunjukkan Plt pimpinan KPK juga bisa dipandang sebagai isyarat Presiden kepada kepolisian untuk mempercepat penyidikan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit S. Rianto.

"Harus diralat mas. Tidak ada penunjukkan langsung Pelaksana tugas pimpinan KPK dalam draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kami siapkan. Perppu itu seperti Undang-undang yang mengatur umum, jadi tidak akan menunjuk seseorang," ujar Direktur Perancangan Perundang-undangan Depkumham Suharyono, kepada hukumonline melalui telepon Selasa (22/9).

Saat ini wacana pembuatan Perppu untuk mengisi ‘kekosongan’ pimpinan KPK memang santer beredar di media massa. Bahkan sudah ada menyebutkan Presiden SBY sudah meneken Perppu untuk menunjuk pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK. Namun Suharyono buru-buru menepisnya.

Sebagai orang yang merumuskan draf Perppu itu, Suharyono menjelaskan hanya ada satu pasal dalam draf itu. "Pasal dalam draf Perppu itu akan membahas mengenai perubahan Pasal 33 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK," kata Suhariyono. Namun ia mengaku lupa bagaimana detil rumusan pasal draf Perppu itu. "Saya lagi nggak megang drafnya. Kalau tidak salah yang mau diubah soal pansel (panitia seleksi) mas."

Pasal 33 UU KPK yang terdiri dari dua ayat itu sendiri merumuskan tentang kewenangan presiden untuk mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK. Prosedur pengajuan calon penggantinya pun harus merujuk pada Pasal 29, Pasal 30 dan pasal 31.

Sekedar informasi, Pasal 29 UU KPK mengatur tentang syarat-syarat pimpinan KPK. Sementara Pasal 30 merinci tentang tahapan seleksi pimpinan KPK yang diawali oleh Panitia Seleksi sampai proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Sedangkan Pasal 31 menegaskan transparansi proses rekrutmen calon pimpinan KPK.

Setujui kriminalisasi
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra menyayangkan sikap presiden yang terkesan sangat ngotot mengeluarkan Perppu untuk menunjuk Plt pimpinan KPK. "Penerbitan Perppu itu sama sekali tak berdasar," kata Saldi, Selasa (22/9).

Menurut Saldi, tak ada kekosongan pimpinan di KPK saat ini meskipun tiga pimpinan lainnya sudah non aktif karena ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan Saldi menilai pembentukkan Perppu itu dapat ditafsirkan sebagai ‘restu’ presiden kepada kepolisian agar segera mempercepat proses penyidikan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto untuk secepatnya ditetapkan menjadi terdakwa. "Semakin jelas terlihat ada skenario besar dalam melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia."

Lebih lanjut Saldi berani menyatakan tindakan presiden adalah sebuah pelanggaran hukum jika benar-benar menunjuk Plt pimpinan KPK. Sebab, sebagai salah satu lembaga independen, proses pengisian pimpinan kelembagaan KPK tak bisa dilakukan secara sepihak oleh Presiden. Makanya dalam rumusan UU KPK disebutkan secara tegas bahwa proses pengisian pimpinan lembaga itu juga harus melibatkan peran DPR.

Sekedar mengingatkan, keberadaan KPK tak jauh berbeda dengan Komnas HAM, Komisi Yudisial atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagai lembaga independen, proses pengisian jabatan pimpinan di semua lembaga itu melewati beberapa tahapan. Mulai dari seleksi oleh Pansel yang dibentuk pemerintah sampai proses fit&proper test oleh DPR.

Saldi mengaku khawatir jika presiden benar-benar merealisasikan niatnya menunjuk Plt pimpinan ini melalui Perppu. "Akan menjadi preseden buruk kedepannya. Nanti kalau di kemudian hari presiden merasa terganggu dengan kinerja lembaga independennya, dia bisa dengan seenak hati mengeluarkan Perppu dan kemudian mengganti pimpinannya dengan orangnya dia."

Harus Ditolak
Tak hanya Saldi yang khawatir dengan rencana penerbitan Perppu itu. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) juga melayangkan sikap serupa. "Sikap Presiden yang ditunjukkan melalui penerbitan Perppu ini adalah posisi yang dianggap menyetujui upaya kriminalisasi terhadap kewenangan KPK serta merupakan bagian dari rangkaian usaha pelemahan gerakan antikorupsi di Indonesia," demikian PSHK dan LeIP dalam rilisnya yang diterima hukumonline.

Apa jadinya jika presiden keukeuh menerbitkan Perppu? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menggantungkan harapan kepada DPR. Hal ini karena Pasal 25 Ayat (3) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa DPR dapat menolak Perppu untuk menjadi undang-undang.

Namun dengan konstelasi kursi di DPR ke depan, Saldi tak yakin DPR berani menolak Perppu ini. "Artinya kita tidak bisa berharap banyak pada DPR. Satu-satunya cara adalah menolak dan mendesak supaya presiden tak menerbitkan Perppu yang sesat ini."

Bagaimana dengan kemungkinan mengajukan judicial review Perppu ke MK? "Secara substansi Perppu memang sama dengan Undang-Undang yang bisa di-judicial review. Tapi secara formil masih harus dikaji terlebih dulu," pungkasnya. (IHW)

Sumber: hukumonline

Bibit Samad Rianto: The Nation Must Unite Against Corruption


VIVAnews - Corruption has become a topic of everyday conversation.


Corruption is deemed inappropriate. It is the common problem of a country. It causes a nation to decline.


Therefore, everyone must fight against it.Corruption is neither a habit nor tradition. It is none of mismanagement as well, as people see it. However, corruption is a crime.


Corruption includes bribery, extortion, committing fraud over state assets while serving a position, cheating, conflicting interests regarding procurement, gratification, and abuse of authority in order to enrich oneself or one's corporation.


In the Corruption Law (Law no.31/ 1999 juncto Law no.20/2001) corruption is divided into seven big groups and 30 offenses. The amount of money does not justify a corruption. The sum does not matter.


Thus, using issues on survival as the ground for corruption are not justifiable. One cannot commit robbery or exploit forest only to survive. If we remain in our corner and do nothing, it will become a terrible habit.


Furthermore, corruption will affect people's manner. They will not have a sense of assessing whether or not an act is categorized corruption. In other words, it will degrade their morality. They say corruption depends on the intentions (for example, paying illegal fees is justifiable if it is intended as a charity). Such a view must be opposed.


How appaling is corruption in Indonesia? According to the Corruption Eradication Commission (KPK), there were more than 31.000 corruption cases reported between 2004 and 2008. In 2008, there were more than 8000 cases reported. That means there were approximately 660 cases reported every month and 185 cases every week. That also means there were at least 37 cases reported everyday.


In conclusion, there were a lot of corruption indications that could be reported to KPK. In almost every department or institution, there was corruption case. If the investigation is set out across the country none of the areas are corruption-free.


The International Transparency gave Indonesia a Corruption Perception Index (IPK) of 2.6 in 2008 while Singapore was given 8.0.


In the past five years, KPK has prosecuted many corruptors who were coming from every level of office. Fighting corruption cannot be carried out only by prosecuting the suspects. The root of the issue must be identified. The reason for this is that although many of the corruptors have been prosecuted, corruption cases will keep on occurring as long as the root of the issue has not been found.


Corruption is like an iceberg. The action is on the surface while the root of the problem lay beneath it. Every corruption offense in every spot has its own characteristics called the corruption anatomy.


Corruption can be handled by applying repressive methods like arresting and prosecuting the suspects. Another way is by imposing preventive methods (preventing the causes of the corruption); the preemptive way, such as removing the initial cause of the corruption, can also be launched.


KPK and the authorities alone cannot deal with corruption. Every element of the nation is required in the every effort of corruption eradication.


(Teks & foto: Vivanews)

Chandra M Hamzah: Advokat juga Bisa Memberantas Korupsi


Gagal jadi Ketua KPK bukan masalah. Yang terpenting adalah berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Gedung Nusantara II DPR, Rabu (5/12) malam, mendadak jadi panggung pertunjukan. Para aktornya adalah Bapak-Ibu wakil rakyat dari Komisi III. Di depan puluhan sorotan kamera, mereka bertingkah layaknya pemain teater sungguhan.

Anggota Komisi III dari FPG Aulia A Rahman, misalnya, mengitari ruangan sebelum akhirnya berhenti di samping kotak suara. Kemudian ia merogoh kertas yang terselip di saku jasnya. Tapi ia tak langsung memasukkan kertas suara itu ke kotak. Ia kecup dulu kertas itu, dengan bibir menebar senyum. Nyaris seluruh pengunjung, termasuk wartawan, menjadikannya pusat perhatian. "Tidak perlu heran. Mereka semua pemain teater," ujar Ketua Komisi III Trimedya Pandjaitan, menenangkan pengunjung yang berisik.

Malam itu, Komisi III sedang menggelar hajatan besar: pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011. Tak ada interupsi bertubi-tubi waktu itu. Yang ada ialah gojlok-gojlokan antar anggota. Canda tawa pun kerap meletup.

Di tengah ´pegelaran teater´ itu, tersebutlah nama Chandra M Hamzah sebagai pengumpul suara terbanyak di putaran pertama. Meski akhirnya ia dikalahkan Antasari Azhar di putaran kedua, toh banyak orang dibuatnya terbelalak. Siapakah Chandra?

Chandra adalah partner sekaligus pendiri sebuah kantor hukum di Jakarta. Lelaki kelahiran 25 Februari 1967 ini merupakan pimpinan KPK termuda di antara empat pimpinan KPK yang lain. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menjadi satu-satunya pimpinan KPK dari unsur advokat. Pada periode sebelumnya, tak ada satu pun pimpinan KPK yang berasal dari advokat.

Di tengah kantuk yang mengamuk, Kamis (6/12) sekitar pukul 19.30 WIB, di sebuah hotel di jalan Sudirman Jakarta, Chandra mengungkapkan pikiran dan harapannya. "Dengan latar belakang saya sebagai advokat, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, mudah-mudahan saya bisa memberikan sudut pandang lain," tuturnya.

Berikut ini petikan selengkapnya perbincangan hukumonline dengan Chandra.

Bagaimana perasaan Anda setelah terpilih menjadi pimpinan KPK?
Jangan tanya perasaan dong. Hahaha. Yang jelas ini adalah suatu amanah yang mesti dijalankan karena memang harapan bangsa Indonesia selain masalah perekonomian juga menginginkan adanya perbaikan terhadap penegakan hukum, terutama korupsi. Masyarakat Indonesia menganggap dengan adanya korupsi tersebut, maka hak-hak masyarakat yang seharusnya dinikmati masyarakat, hanya dinikmati oleh segelintir koruptor.
Kalangan LSM cukup kecewa dengan hasil pemilihan Ketua KPK. Sementara Anda mendapat dukungan luas dari kalangan LSM. Bagaimana Anda mempersepsi dukungan itu?
Sebenarnya saya juga berterima kasih. Dukungan dari manapun, itu adalah sebuah modal. Dukungan dan kepercayaan dari masyarakat, termasuk LSM dan masyarakat lainnya yang lebih banyak tidak bersuara, sangat diperlukan. Pesan saya, kita bisa membuat gerakan pemberantasan korupsi ini sebuah gerakan yang bersifat massal. Masyarakat, siapa pun juga, perlu melakukan upaya-upaya sederhana untuk tidak melakukan korupsi. Contohnya, jangan bayar polisi karena ditilang.
Anda pernah menyebut membangun kultur anti korupsi merupakan hal terpenting. Mengapa demikian?
Karena pada dasarnya hal terbaik adalah adanya suatu masyarakat yang tidak korupsi tanpa harus diawasi, tanpa adanya penegak hukum. Itu idealnya. Tapi itu tidak mungkin. Kalau misalnya tidak, ada sebagian besar masyarakat yang tidak diawasi pun tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Soal KPK, hal apa saja yang menurut Anda perlu dibenahi?
Yang pertama, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang lebih baik dibandingkan yang sekarang sehingga kita bisa lebih mempunyai dasar hukum untuk melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Kita perlu mengadopsi UNCAC (United Nations Convention Against Corruption 2003). Salah satu yang terpenting dari UNCAC ialah, bahwa penyitaan terhadap aset korupsi itu bukan hanya aset yang langsung diakibatkan tindak pidana korupsi, tetapi juga aset yang langsung maupun tidak langsung dihasilkan dari tindak pidana korupsi. Itu adalah pengembangan konsep mengenai aset hasil korupsi. Poin penting lainnya adalah, kategori pejabat publik bukan hanya pejabat yang menerima gaji dari negara, tetapi pejabat yang melakukan fungsi publik juga termasuk pejabat publik.

Berarti UU Tipikor yang ada sekarang kurang memadai?
Ya betul. Jadi beberapa peraturan perundang-undangan perlu diselaraskan sehingga dapat menyesuaikan perkembangan terbaru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, yang terpenting lainnya adalah kerjasama internasional.

Beberapa kalangan kecewa terhadap komposisi pimpinan KPK sekarang. Bagaimana pendapat Anda soal ini?
DPR sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk memilih pimpinan KPK sudah melakukan itu. Dengan komposisi sekarang tentu KPK diharapkan lebih baik, lebih maju. Sama-sama kita harapkan. Kalaupun terjadi hal-hal lain masyarakat bisa menilai, mengkritisi dan mengingatkan.

Pada periode sebelumnya tak ada pimpinan KPK yang berasal dari advokat. Kira-kira kontribusi apa yang bisa Anda berikan sebagai pimpinan KPK yang berlatar belakang advokat?
Dengan latar belakang saya sebagai advokat, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, mudah-mudahan saya bisa memberikan sudut pandang lain.

Seperti apa sudut pandang lain itu?
Selama ini polisi dan jaksa hanya melihat dari sudut pandang penyelidik dan penyidik. Saya bisa menunjukkan bukti bahwa komplikasi dari suatu transaksi yang digunakan untuk tindak pidana korupsi itu juga mungkin. Jadi tidak hanya korupsi-korupsi yang tradisional.

Sewaktu fit and proper test, kemampuan Anda dalam hal penyelidikan dan penyidikan diragukan karena Anda berasal dari advokat. Bagaimana Anda menjelaskan soal ini?
Pertama, bahwa saya pernah di TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) di Kejaksaan Agung. Walaupun itu bukan penyelidikan dan penyidikan, tapi saya pernah membantu. Kedua, apa yang dilakukan advokat sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan kejaksaan atau kepolisian. Misalnya, advokat mempunyai pekerjaan melakukan due diligence, yang bisa bersifat investigatif. Bahkan saya pernah ikut penyelidikan hukum yang bersifat investigatif untuk mengetahui di mana salahnya suatu transaksi dan segala macam. Dan itu sama dengan yang dilakukan kejaksaan atau kepolisian. Soal penuntutan, advokat juga terbiasa mengajukan gugatan perdata. Pada dasarnya itu ada kesamaan dengan dakwaan.

DPR menekankan bahwa yang diperlukan sekarang adalah pimpinan KPK yang mampu melakukan fungsi supervisi. Bagaimana konsep supervisi menurut Anda?
KPK tidak akan pernah bisa menangani seluruh kasus korupsi di Indonesia karena lembaganya kecil. Kalaupun bisa, maka KPK perlu dikembangkan sedemikian besar. Karena itu maka akan ada supervisi. Jadi pentingnya supervisi adalah bagaimana KPK dapat menggerakkan aparat-aparat penegak hukum di daerah untuk melakukan pemberantasan tipikor. Konsepnya cuma satu. Sederhana sekali. Setiap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum di tingkat yang paling bawah, menurut ketentuan Undang-Undang, harus dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 14 hari sejak dimulai penyilidikan. Hal ini, kabarnya, tidak pernah dilakukan. Seandainya dilakukan, itu akan bagus sekali. Begitu ada penyelidikan, langsung lapor kepada KPK. Kalau semuanya oke, KPK tidak perlu intervensi lagi. Sekali jalan bagus.

Kalau misalnya, dari segi nominal korupsi itu cukup besar, apakah akan diambil alih KPK?
Nggak perlu melihat nominalnya. Selama penyelidikan dan penyidikan itu dilakukan aparat penegak hukum secara baik, dan berjalan dengan tidak menimbulkan korupsi lagi, KPK cukup mensupervisi dan melihat.

Dalam fit and proper test, Anda menyatakan masa depan KPK tergantung DPR sebagai wakil rakyat. Jawaban itu terkesan normatif. Secara pribadi, apakah sebenarnya Anda menginginkan KPK berumur panjang?
Saya jawab begitu dalam fit and proper test karena kewenangan mengadakan dan meniadakan KPK itu ada di DPR. Kita hanya pelaksana Undang-Undang. Tetapi harapan saya pribadi begini. Ada fungsi-fungsi KPK yang tidak pernah dijalankan oleh kejaksaan dan kepolisian yaitu supervisi, koordinasi dan monitoring. Kalau kita berkaca dari negara lain, di Hongkong misalnya, lembaga anti korupsinya sudah 20 tahun masih berjalan. Jadi kita hebat kalau KPK sampai 20 tahun.

Banyak orang berpendapat KPK itu lembaga ad hoc. Tapi di UU juga tidak disebutkan kapan KPK akan berakhir. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
Ad hoc berarti dibentuk oleh suatu lembaga, di mana lembaga itu memiliki kewenangan yang kemudian didelegasikan kepada lembaga ad hoc. Katakanlah Timtas Tipikor. Itu ad hoc, karena kewenangan sebenarnya ada di Kejaksaan Agung. Timtas Tipikor dibentuk sebagai lembaga ad hoc untuk melaksanakan fungsi tertentu.

Berarti ad hoc bukan berarti dibatasi waktu tertentu?
Ada fungsi tertentu atau ada waktu tertentu. Tetapi yang jelas dia harus dibentuk lembaga yang sudah ada sebelumnya. Kalau KPK, dibentuk oleh DPR dan pemerintah melalui Undang-Undang. DPR tidak melimpahkan kewenangannya kepada KPK. Jadi KPK bukan lembaga ad hoc. Apalagi di UU tidak disebutkan.

Meroketnya nama Anda cukup mengejutkan, meski akhirnya kalah dari Antasari Azhar. Sebelumnya, apakah Anda punya ambisi untuk jadi Ketua KPK?
Bukannya ambisi ingin jadi Ketua KPK. Bahwa saya ingin berpartisipasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena saya menganggap korupsi adalah proses pembodohan. Tidak jadi Ketua KPK tidak masalah.

Bagaimana profesi Anda selaku advokat setelah terpilih menjadi pimpinan KPK? Bagaimana juga kasus-kasus yang sedang Anda tangani?
Saya tinggalkan profesi saya, termasuk kasus-kasus yang sedang saya tangani. Sesuai Undang-Undang Advokat, advokat yang menjadi pejabat negara harus berhenti dari profesinya selama menjabat jabatan itu. Di Undang-Undang KPK juga begitu. Tentu untuk menghindari conflict of interest. (Her)


Sumber: Hukumonline

Video: Tolak Penggembosan KPK

(Klik gambar atau di sini untuk melihat video)


Indonesian Coruption Watch (ICW) dan kelompok CICAK atau Cinta Indonesia Cinta KPK menolak upaya penggembosan KPK oleh Polri.
Teks: antara.tv
Video: antara.tv, Youtube

Video: Puluhan Pengacara Siap Bela KPK

(Klik gambar untuk melihat video)
Video: Liputan6.com, Youtube

SIARAN PERS: Penyidikan terhadap Dua Pimpinan KPK Harus Segera Dihentikan

Untuk dan atas nama Pimpinan KPK yang pada saat ini telah ditetapkan statusnya sebagai Tersangka, dengan ini kami sampaikan bahwa Mabes Polri harus menghentikan proses penyidikan terhadap dua pimpinan KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto karena mereka telah salah dalam menerapkan pasal terhadap kedua pimpinan KPK tersebut.

Penetapan proses penyelidikan kepada kedua deputi KPK tersebut akan menimbulkan malapetaka dan benturan-benturan dalam proses penegakan hukum di Indonesia yang bisa berakibat secara seruius pada konstruksi hukum dan komitmen pemerintahan Indonesia pada era reformasi dalam memerangi dan memberantas korupsi. Ketegangan yang terjadi antara para aparat hukum dengan pemaksaan penyelenggaran prosedur dan kewenangan, dalam hal ini pihak kepolisian untuk memeriksa dan menetapkan status tersangka pada Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto.

Pemeriksaan dan penetapan tersangka kedua Pimpinan KPK atas dugaan penyalahgunaan wewenang merupakan kriminalisasi terhadap pelaksanaan wewenang KPK yang diberikan langsung oleh UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (“UU KPK”). Sebuah mandat dan tanggung jawab KPK yang pada pelimpahannya ditentukan oleh Undang-Undang dan merupakan turunan langsung dari tuntutan pemberantasan korupsi dan reformasi hukum di Indonesia pada periode setelah Presiden Soeharto. Mengutip Sdr. Alexander Lay, “Forum Pidana bukanlah forum yang tepat untuk menerjemahkan atau mendefinisikan ulang kewenangan KPK.” Selama ini KPK telah menyelesaikan penyelidikan atas lebih dari 100 kasus yang seluruhnya diterima dan diputuskan Pengadilan dengan baik.

Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor (“UU Tipikor”) jo. 421 KUHP tidak tepat dikenakan kepada kedua pimpinan KPK karena tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam penetapan dan pencabutan cekal atas Joko S. Chandra dan penetapan cekal atas Anggoro Widjojo.

Sejak KPK Periode Pertama surat penetapan cekal tidak harus dilakukan atau dikeluarkan secara kolektif kolegial oleh Pimpinan KPK. Di dalam KPK sudah ada pembagian kewenangan berdasarkan peraturan internal KPK.

Oleh karena itu, penetapan dan pencabutan cekal atas Joko S. Chandra dan penetapan cekal atas Anggoro Widjojo oleh Pimpinan KPK, termasuk yang dilakukan oleh Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sudah sesuai kebiasaan yang berlaku sejak KPK dibentuk.

Pengambilan keputusan secara kolektif kolegial oleh Pimpinan KPK dilakukan untuk keputusan peningkatan penyelidikan menjadi penyidikan atau penyidikan menjadi penuntutan, dan tidak wajib dilakukan untuk penetapan dan/atau pencabutan cekal.

Pencekalan dan/atau pencabutan cekal serta semua upaya paksa lain yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum dapat diajukan ke PRAPERADILAN jika dianggap tidak sesuai prosedur.

Mekanisme lain yang bisa ditempuh adalah melalui gugatan REHABILITASI DAN/ATAU KOMPENSASI sesuai pasal 63 UU No. 20 Tahun 2002 tentang KPK.


Jakarta, 17 September 2009

Daftar 21 Pengacara yang Dampingi Chandra & Bibit

Rachmadin Ismail - detikNews

Jakarta - Dukungan bagi Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto tidak hanya diberikan mahasiswa dan penggiat anti korupsi. Sekitar 21 advokat juga siap membela keduanya karena diyakini tidak bersalah.

Pantauan detikcom, seluruh pengacara tersebut ikut dalam iring-iringan mobil bersama Chandra dan Bibit yang berangkat dari Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Rabu (16/9/2009).

Sejumlah nama yang terdaftar merupakan advokat senior yang berasal dari YLBHI. Berikut daftar nama para pengacara yang mendampingi Chandra dan Bibit:
1. Arief T Surowidjojo (Koordinator)
2. Trimoelja D Soerjadi
3. Bambang Widjojanto
4. Luhut MP Pangaribuan
5. Iskandar Sonhaji
6. Djamhir Hamzah
7. Kemal Firdaus
8. Abdul Fickar Hadjar
9. Patra M Zen
10. Ahmad Maulana
11. Alexander Lay
12. Eri Hertiawan
13. Harjon Sinaga
14. Abdul Haris M Rum
15. Ignatius Andy
16. Taufik Basari
17. Timbul Thomas Lubis
18. Yogi Sudrajat Marsono
19. Ari Juliano Gema
20. Achmad Rifai
21. Wahyudi Bahar

(mad/irw)

Sumber: http://www.detiknews.com/read/2009/09/16/135532/1204860/10/daftar-21-pengacara-yang-dampingi-chandra-bibit

Dua Puluh Advokat Siap Bela Pimpinan KPK

[14/9/09]

Proses hukum yang tengah dijalani empat Pimpinan KPK mengundang perhatian dari kalangan advokat. Berawal dari kongko-kongko, termasuk melalui media internet, 20 advokat menyatakan siap menjadi Tim Pembela Kriminalisasi Kewenangan KPK. “Langkah ini atas inisiatif kami bersama,” ujar Bambang Widjojanto yang ditunjuk sebagai juru bicara Tim Pembela, saat jumpa pers di gedung KPK, Senin (14/9).

Bersama Bambang, sejumlah nama advokat ternama seperti Iskandar Sonhaji, Luhut MP Pangaribuan, Arief T Surowidjojo, Alexander Lay dan Abdul Fickar Hadjar juga bergabung dalam Tim Pembela. Selain itu, juga tercantum nama-nama penggiat bantuan hukum, seperti Patra M Zein dari YLBHI dan Taufik Basari dari LBH Masyarakat.

Bambang menjelaskan dirinya bersama 19 advokat lainnya memutuskan untuk membentuk Tim Pembela, karena proses hukum yang tengah berjalan di Mabes Polri berpotensi mengarah pada kriminalisasi. Ia, misalnya, mempertanyakan apakah Mabes Polri memiliki bukti permulaan yang cukup untuk kemudian memeriksa pimpinan KPK.

“Kalangan advokat sepakat untuk menjaga eksistensi lembaga KPK agar dapat terus berkiprah dalam mewujudkan percepatan pemberantasan korupsi," tukas Bambang.

Saat ini, kata Bambang, Tim Pembela tengah mengkaji dan merumuskan berbagai langkah hukum secara komprehensif. Selain itu, Tim Pembela juga akan bersinergi dengan elemen masyarakat lainnya yang memiliki keprihatinan yang sama terhadap nasib pemberantasan korupsi.

Sumber: http://hukumonline.com/detail.asp?id=23132&cl=Aktual

Tim Pembela Pastikan Pemberian Bantuan Tanpa ‘Balas Budi’


Tim Pembela meragukan apakah Mabes Polri memiliki bukti permulaan yang cukup untuk memanggil Pimpinan KPK.

Setelah cicak dan buaya, kini muncul istilah godzilla. Istilah terakhir dikeluarkan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Pernyataan itu bisa jadi hanya kelakar atau bahkan sebenarnya tidak terkait dengan langkah Mabes Polri memeriksa Pimpinan KPK. Namun, pernyataan Hendarman yang menganalogikan godzilla sebagai bentuk sinergi Kepolisian dan Kejaksaan, kadung membuat merah telinga para penggiat anti korupsi. Pernyataan Hendarman dianggap sebagai penegasan bahwa memang ada upaya pelemahan KPK.

Jika Kepolisian dan Kejaksaan bersinergi, KPK kini juga punya mitra sinergi. Mereka adalah 20 orang advokat yang menyatakan siap menjadi Tim Pembela Kriminalisasi Kewenangan KPK (Tim Pembela). Dimotori sejumlah advokat ternama seperti Bambang Widjojanto, Luhut MP Pangaribuan, Arief T Surowidjojo, Iskandar Sonhaji, Alexander Lay, dan Abdul Fickar Hadjar, Tim Pembela akan fokus mendampingi Pimpinan KPK yang tengah menjalani proses hukum di Bareskrim Mabes Polri.

"Besok (Selasa, 15/9), Tim Pembela akan mendampingi dua Pimpinan KPK yang kembali menjalani pemeriksaan," ujar Bambang Widjojanto, Juru Bicara Tim Pembela, saat jumpa pers di gedung KPK, Senin (14/9).

Sebagaimana telah diberitakan, Jumat lalu (11/9), empat Pimpinan KPK akhirnya memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri. Chandra M Hamzah dkk dimintai keterangan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang di KPK. Usai pemeriksaan, dua dari Pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah diagendakan untuk diperiksa kembali.

Bambang menegaskan keputusan Tim Pembela membantu KPK murni sebagai bentuk keprihatinan kalangan advokat terhadap nasib pemberantasan korupsi di negeri ini. Makanya, sejak gagasan ini pertama kali muncul, Tim Pembela berniat ‘tidak pasang harga’ seperti laiknya seorang advokat mendampingi klien. "Secara prinsip, bantuan ini bersifat pro bono (cuma-cuma, red.)," ujarnya.

Tidak hanya itu, Bambang juga menegaskan komitmen Tim Pembela bahwa bantuan kepada KPK ini tidak akan berlanjut pada deal-deal dalam penanganan kasus korupsi yang sedang atau akan mereka tangani. "Kami ini, orang-orang independen, jadi kami akan saling mengingatkan satu sama lain. Ini komitmen," tegasnya.

Wacana ‘balas budi’ sebelumnya juga muncul ketika sejumlah advokat seperti Denny Kailimang, Mohammad Assegaf, Hotma Sitompul, dan Juniver Girsang menjadi tim penasihat hukum Ketua KPK non aktif Antasari Azhar. Denny dkk dicurigai kalangan LSM anti korupsi, membantu Antasari demi kepentingan kasus korupsi yang sedang atau akan mereka tangani.

Tim Pembela, jelasnya, dibentuk didasari keprihatinan karena proses hukum di Mabes Polri berpotensi mengarah pada tindakan kriminalisasi kewenangan. Tim Pembela juga menuding tindakan Mabes Polri memanggil Pimpinan KPK merupakan bentuk deligitimasi dan dekonstruksi pemberantasan korupsi.

Di luar itu, pada prinsipnya, Tim Pembela sepakat bahwa prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum harus ditegakkan, termasuk kepada Pimpinan KPK sekalipun. Namun, ia mengigatkan bahwa ada prinsip lain yang harus ditegakkan yakni Geen straaf zonder schuld atau tidak ada yang dapat dituntut di muka peradilan tanpa adanya kesalahan.

Makanya, Tim Pembela meragukan apakah Mabes Polri memiliki bukti permulaan yang cukup untuk memanggil Pimpinan KPK. Jika dasar pemanggilannya adalah testimoni Antasari Azhar, Bambang mengidentifikasi sebuah kejanggalan. Pasalnya, testimoni hanya menyebut keterkaitan Pimpinan KPK dengan kasus PT Masaro. Namun, dalam proses pemeriksaan para Pimpinan KPK, kemudian muncul keterkaitan lain yakni penyalahgunaan wewenang dalam proses pencekalan Joko S Tjandra.

Itu baru satu keganjilan yang diidentifikasi Tim Pembela. Selain itu, Tim Pembela juga mempertanyakan rentang waktu antara surat panggilan pertama dan kedua yang hanya satu hari. "Kami akan kaji semua proses hukum yang berjalan, termasuk kemungkinan terjadinya pelanggaran prosedur," dia menambahkan.

Sementara itu, sebagaimana dilansir kompas.com, Staf Khusus Presiden bidang Hukum, Denny Indrayana mengatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya memahami terjadinya gesekan antara KPK dan Polri. Namun, Presiden menegaskan tidak akan ikut campur proses hukum yang berjalan. (Rzk)


Sumber: hukumonline

Keterangan Resmi Mabes Polri soal Ditetapkannya Dua Komisioner KPK sebagai Tersangka Dugaan Penyalahgunaan Wewenang

Keterangan resmi Mabes Polri pada 15 September 2009 mengenai ditetapkannya dua komisioner KPK sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang. (Transkrip tidak resmi)

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol. Nanan Sukarna:
Polisi sangat ingin mendukung penuh pemberantasan korupsi dan KPK untuk memberantas korupsi. semua yang dilakukan penegak hukum untuk itu semua. Media harus bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi. Tidak justru ingin menghalangi KPK. Sudah ada proses penyidikan dan nantinya akan ada proses penuntutan dan pengadilan. Bukan didebatkan di media yang justru bikin keruh.

Wakil Kabareskrim Brigjen Dikdik Mulyana Arif:
Kami berangkat dari rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Dalam dunia penyidikan dan sistem penegakan hukum, selalu ada bagian-bagian yang mampu kami lihat, namun tidak dilihat oleh orang yang lain. Sebaliknya, mampu dilihat oleh rekan-rekan pers, tapi penglihatan kami tidak seperti itu. Dengan gencarnya opini yang berkembang di media massa, kami berkewajiban untuk menjelaskan tentang apa yang kami lakukan. Berawal dr LP dari pimpinan KPK nonaktif Antasari Azhar di mana penyidikan merujuk LP tertanggal 6 Juni 2009, yang dilaporkan adalah penerimaan suap atau pemerasan terhadap PT Masaro Radiocom terkait pengajuan anggaran SKRT Dephut. Lebih jauh dalam penyidikan, kami temukan fakta sbb: Anggoro Widjojo adalah mantan pemegang saham PT Masaro Radiocom yang pada Juli 2008 diduga terlibat pada kasus penyuapan pejabat di Dephut dan anggota Komisi 4 DPR RI. Atas adanya dugaan tersebut KPK melakukan pencekalan, 22 Agustus 2008. Berdasarkan pencekalan tersebut, Anggoro berupaya menyelesaikan penyelesaian tersebut melalui adiknya Anggodo. Anggodo menyerahkan sejumlah uang melalui Ary Muladi untuk diserahkan kepada para pimpinan KPK. Atas dasar pemberian itu, Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar atas dugaan tersebut KPK cekal 22 Agustus 2008, Anggoro berupaya mencekal melalui Anggodo yang lalu minta tolong AM untuk diserahkan ke Anggodo.

LP itu ada kewajiban apakah yang dilaporkan Antasari itu adalah bagian dari yang harus ditindaklanjuti. Walaupun laporan utama belum mampu dibuktikan karena banyak pernak-pernik untuk memenuhi unsur. ternyata yang bisa kami buktikan adalah oleh Ary Muladi. Faktanya, dia terima uang Anggodo sebanyak Rp5,15 miliar yang diserahkan di Hotel Peninsula Jakarta pada 11 Agustus 2008, 13 November 2008, dan 13 Februari 2009. Ini fakta, dokumen penyerahan uang ada. Tapi, perjalanan uang ini di mana Anggodo menitipkan uang itu ke Ary Muladi untuk dititipkan ke para pimpinan KPK dalam rangka pencekalannya, kita mengakomodir hak dia untuk mengubah keterangannya. Pada mulanya tidak, lalu iya. Kesimpulan, tidak bisa karena itu. Karena itu ada tindak pidana baru, terjadi penggelapan oleh Ary Muladi. Apakah kelanjutannya terjadi penggelapan atau yang lain, kita perlu waktu. Dalam perjalanan itu juga kita temukan tindak pidana lain yang kemudian dipersoalkan rekan-rekan pers. Seakan-akan kita mengada-akan, laporannya suap kok jadi penyalahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang kami temukan, yaitu dalam pelaksanaannya memang bagian-bagian tindak pidana ini tidak umum.

Kedua, selama Republik ini berdiri, baru dicoba ditegakan pasal ini. Jadi, faktanya ada pencekalan Anggoro dkk, mereka tidak termasuk subyek hukum dalam perkara yang disidik KPK. Dalam pasal 12 (UU Tipikor) dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, kalau orang tidak termasuk dalam status terlidik, tersidik, tertuntut, lalu dicekal. Berarti ada pencekalan yang tidak sesuai dengan prosedur. Pencekalan yang dilakukan terhadap Anggoro dan Joko, sudah menyalahi pasal 21 ayat 5 (UU Tipikor). Karena itu sudah disebutkan dalam pasal 12 (UU Tipikor) bahwa pencekalan harus diputuskan dalam Rapim secara kolektif. Mungkin ini tidak akan terjadi pada kasus-kasus lain karena KPK sifatnya kolektif. Pencekalan yang dilakukan oleh Chandra Hamzah menjadi salah prosedur dan menjadi tindak pidana penyalahgunaan wewenang. Kemudian pencekalan tersebut terhadap Joko Tjandra terkait adanya dugaan UTG juga oleh Chandra dan Bibit, itu pun sama bukan putusan kolektif. Ini sederhana, deliknya formal. Cuma ketika ditanggapi dengan masalah lain seakan kita mencari-cari. Bahkan, dasar pencekalan yang digunakan surat penyidikan dalam kasus yang berbeda.

Direktur III Bareskrim Mabes Polri Kombes Joviannes Mahar:
Telah terjadi pemerasan pasal 12 e jo. pasal 15 bahwa percobaan pegawai negeri yang ingin menguntungkan diri sendiri dengan cara melawan hukum untuk memaksa orang menyerahkan sesuatu. Ini berdasarkan Masaro digeledah oleh KPK berdasarkan kasus Tanjung Apiapi ataupun Air Talang, dalam kasus yang berbeda. Dalam kasus ini digeledah. Kemudian, diminta permintaan cekal Anggoro yang tidak ada kaitannya dengan penyidikan. Ini melanggar aturan dalam UU KPK yaitu bahwa sesuai pasal 12 dijelaskan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, KPK berwenang memerintahkan instansi mencegah keberangkatan ke luar negeri. Dia tidak tahu dalam status apa dicekal. Kemudian sebelum dicekal, dalam penggeledahan dia bertanya, ada apa saya dicekal, coba tanyakan. Muncul orang berinisial AM yang mengaku kenal orang-orang KPK dan bisa menyelesaikan masalah ini. Dengan catatan harus ada atensi. Anggoro kasih Rp5,15 m. Ternyata justru satu minggu kemudian dia dicegah lagi. Kemudian ada apa ini. Muncul lagi orang yang menyatakan bahwa ada orang KPK yang belum diatensi. Ini adanya proses. LP muncul perbuatan melawan hukum sesuai pasal 23 (UU Tipikor) jo. 421 (KUHP), yaitu PN yang menyalahgunakan kewenangannya memaksa orang untuk berbuat. Dalam penyidikan kami, yang dilakukan Chandra dalam pencekalan Anggoro, dia tidak tahu dalam proses apa dia dicekal. Ada unsur dengan dicekal ini ada aliran uang. Dalam kesewenangan ini, Chandra menerbitkan cekal tersebut peristiwa tidak ada dalam kaitan apa. Dalam keputusan cekal itu dilakukan secara sendiri. Padahal sesuai UU KPK kolegial kolektif untuk kontrol supaya tidak berbuat sewenang-wenang. Chandra ambil keputusan cekal secara sendiri seharusnya secara kolektif. Begitupun Pak Bibit, dia tidak mengetahui terkait apa mencekal Joko Tjandra. Ini melampaui batas karena tidak memberitahu yang lain sudah cekal Joko Tjandra. Pencabutan cekal juga tidak sesua prosedur. Bahwa satgas belum melakukan penyelidikan apapun, tapi oleh Chandra diputuskan dicabut cekalnya. Tanpa perlu mengetahui usulan dari satgas jika cekal itu seharusnya dicabut. Dia melanggar pasal 21 (UU Tipikor) yang seharusnya dilakukan secara kolegial. Sampai saat ini kita tidak lakukan penahanan karena ybs sangat koperatif. Soal uang, aliran uang ada, saksi dan petunjuk sudah ada. Tapi, sampai atau tidak, yang masih kita lakukan.

Nanan Sukarna:
Keputusan itu harus kolegial, tidak individual. Tapi karena individual, itu jadi melanggar.

Joviannes Mahar:
Mereka melakukan karena merasa berhak, tapi lupa kalau hak itu harus jelas, dalam rangka terlidik, tersidik, atau tertuntut dan harus diputuskan secara kolektif. Mereka kan harus tetap tanya pimpinan.

(Antasari)? Seharusnya iya.

(Artinya Antasari akan terkait?) Iya terkait, tapi sejauh mana keterlibatannya harus kita dalami lebih lanjut.

(Alat bukti?) Kalau tadi dikatakan alat bukti sudah kita penuhi, keterangan saksi sebanyak 16 orang, surat berkaitan dengan itu penerimaan uang Ary Muladi, petunjuk yang dirangkaian, ahli perbuatan pidana yang dilakukan oknum ini. Laporan Anggoro hanya jadi petunjuk LP yang kita telah buat.