Keterangan Resmi Mabes Polri soal Ditetapkannya Dua Komisioner KPK sebagai Tersangka Dugaan Penyalahgunaan Wewenang

Keterangan resmi Mabes Polri pada 15 September 2009 mengenai ditetapkannya dua komisioner KPK sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang. (Transkrip tidak resmi)

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol. Nanan Sukarna:
Polisi sangat ingin mendukung penuh pemberantasan korupsi dan KPK untuk memberantas korupsi. semua yang dilakukan penegak hukum untuk itu semua. Media harus bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi. Tidak justru ingin menghalangi KPK. Sudah ada proses penyidikan dan nantinya akan ada proses penuntutan dan pengadilan. Bukan didebatkan di media yang justru bikin keruh.

Wakil Kabareskrim Brigjen Dikdik Mulyana Arif:
Kami berangkat dari rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Dalam dunia penyidikan dan sistem penegakan hukum, selalu ada bagian-bagian yang mampu kami lihat, namun tidak dilihat oleh orang yang lain. Sebaliknya, mampu dilihat oleh rekan-rekan pers, tapi penglihatan kami tidak seperti itu. Dengan gencarnya opini yang berkembang di media massa, kami berkewajiban untuk menjelaskan tentang apa yang kami lakukan. Berawal dr LP dari pimpinan KPK nonaktif Antasari Azhar di mana penyidikan merujuk LP tertanggal 6 Juni 2009, yang dilaporkan adalah penerimaan suap atau pemerasan terhadap PT Masaro Radiocom terkait pengajuan anggaran SKRT Dephut. Lebih jauh dalam penyidikan, kami temukan fakta sbb: Anggoro Widjojo adalah mantan pemegang saham PT Masaro Radiocom yang pada Juli 2008 diduga terlibat pada kasus penyuapan pejabat di Dephut dan anggota Komisi 4 DPR RI. Atas adanya dugaan tersebut KPK melakukan pencekalan, 22 Agustus 2008. Berdasarkan pencekalan tersebut, Anggoro berupaya menyelesaikan penyelesaian tersebut melalui adiknya Anggodo. Anggodo menyerahkan sejumlah uang melalui Ary Muladi untuk diserahkan kepada para pimpinan KPK. Atas dasar pemberian itu, Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar atas dugaan tersebut KPK cekal 22 Agustus 2008, Anggoro berupaya mencekal melalui Anggodo yang lalu minta tolong AM untuk diserahkan ke Anggodo.

LP itu ada kewajiban apakah yang dilaporkan Antasari itu adalah bagian dari yang harus ditindaklanjuti. Walaupun laporan utama belum mampu dibuktikan karena banyak pernak-pernik untuk memenuhi unsur. ternyata yang bisa kami buktikan adalah oleh Ary Muladi. Faktanya, dia terima uang Anggodo sebanyak Rp5,15 miliar yang diserahkan di Hotel Peninsula Jakarta pada 11 Agustus 2008, 13 November 2008, dan 13 Februari 2009. Ini fakta, dokumen penyerahan uang ada. Tapi, perjalanan uang ini di mana Anggodo menitipkan uang itu ke Ary Muladi untuk dititipkan ke para pimpinan KPK dalam rangka pencekalannya, kita mengakomodir hak dia untuk mengubah keterangannya. Pada mulanya tidak, lalu iya. Kesimpulan, tidak bisa karena itu. Karena itu ada tindak pidana baru, terjadi penggelapan oleh Ary Muladi. Apakah kelanjutannya terjadi penggelapan atau yang lain, kita perlu waktu. Dalam perjalanan itu juga kita temukan tindak pidana lain yang kemudian dipersoalkan rekan-rekan pers. Seakan-akan kita mengada-akan, laporannya suap kok jadi penyalahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang kami temukan, yaitu dalam pelaksanaannya memang bagian-bagian tindak pidana ini tidak umum.

Kedua, selama Republik ini berdiri, baru dicoba ditegakan pasal ini. Jadi, faktanya ada pencekalan Anggoro dkk, mereka tidak termasuk subyek hukum dalam perkara yang disidik KPK. Dalam pasal 12 (UU Tipikor) dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, kalau orang tidak termasuk dalam status terlidik, tersidik, tertuntut, lalu dicekal. Berarti ada pencekalan yang tidak sesuai dengan prosedur. Pencekalan yang dilakukan terhadap Anggoro dan Joko, sudah menyalahi pasal 21 ayat 5 (UU Tipikor). Karena itu sudah disebutkan dalam pasal 12 (UU Tipikor) bahwa pencekalan harus diputuskan dalam Rapim secara kolektif. Mungkin ini tidak akan terjadi pada kasus-kasus lain karena KPK sifatnya kolektif. Pencekalan yang dilakukan oleh Chandra Hamzah menjadi salah prosedur dan menjadi tindak pidana penyalahgunaan wewenang. Kemudian pencekalan tersebut terhadap Joko Tjandra terkait adanya dugaan UTG juga oleh Chandra dan Bibit, itu pun sama bukan putusan kolektif. Ini sederhana, deliknya formal. Cuma ketika ditanggapi dengan masalah lain seakan kita mencari-cari. Bahkan, dasar pencekalan yang digunakan surat penyidikan dalam kasus yang berbeda.

Direktur III Bareskrim Mabes Polri Kombes Joviannes Mahar:
Telah terjadi pemerasan pasal 12 e jo. pasal 15 bahwa percobaan pegawai negeri yang ingin menguntungkan diri sendiri dengan cara melawan hukum untuk memaksa orang menyerahkan sesuatu. Ini berdasarkan Masaro digeledah oleh KPK berdasarkan kasus Tanjung Apiapi ataupun Air Talang, dalam kasus yang berbeda. Dalam kasus ini digeledah. Kemudian, diminta permintaan cekal Anggoro yang tidak ada kaitannya dengan penyidikan. Ini melanggar aturan dalam UU KPK yaitu bahwa sesuai pasal 12 dijelaskan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, KPK berwenang memerintahkan instansi mencegah keberangkatan ke luar negeri. Dia tidak tahu dalam status apa dicekal. Kemudian sebelum dicekal, dalam penggeledahan dia bertanya, ada apa saya dicekal, coba tanyakan. Muncul orang berinisial AM yang mengaku kenal orang-orang KPK dan bisa menyelesaikan masalah ini. Dengan catatan harus ada atensi. Anggoro kasih Rp5,15 m. Ternyata justru satu minggu kemudian dia dicegah lagi. Kemudian ada apa ini. Muncul lagi orang yang menyatakan bahwa ada orang KPK yang belum diatensi. Ini adanya proses. LP muncul perbuatan melawan hukum sesuai pasal 23 (UU Tipikor) jo. 421 (KUHP), yaitu PN yang menyalahgunakan kewenangannya memaksa orang untuk berbuat. Dalam penyidikan kami, yang dilakukan Chandra dalam pencekalan Anggoro, dia tidak tahu dalam proses apa dia dicekal. Ada unsur dengan dicekal ini ada aliran uang. Dalam kesewenangan ini, Chandra menerbitkan cekal tersebut peristiwa tidak ada dalam kaitan apa. Dalam keputusan cekal itu dilakukan secara sendiri. Padahal sesuai UU KPK kolegial kolektif untuk kontrol supaya tidak berbuat sewenang-wenang. Chandra ambil keputusan cekal secara sendiri seharusnya secara kolektif. Begitupun Pak Bibit, dia tidak mengetahui terkait apa mencekal Joko Tjandra. Ini melampaui batas karena tidak memberitahu yang lain sudah cekal Joko Tjandra. Pencabutan cekal juga tidak sesua prosedur. Bahwa satgas belum melakukan penyelidikan apapun, tapi oleh Chandra diputuskan dicabut cekalnya. Tanpa perlu mengetahui usulan dari satgas jika cekal itu seharusnya dicabut. Dia melanggar pasal 21 (UU Tipikor) yang seharusnya dilakukan secara kolegial. Sampai saat ini kita tidak lakukan penahanan karena ybs sangat koperatif. Soal uang, aliran uang ada, saksi dan petunjuk sudah ada. Tapi, sampai atau tidak, yang masih kita lakukan.

Nanan Sukarna:
Keputusan itu harus kolegial, tidak individual. Tapi karena individual, itu jadi melanggar.

Joviannes Mahar:
Mereka melakukan karena merasa berhak, tapi lupa kalau hak itu harus jelas, dalam rangka terlidik, tersidik, atau tertuntut dan harus diputuskan secara kolektif. Mereka kan harus tetap tanya pimpinan.

(Antasari)? Seharusnya iya.

(Artinya Antasari akan terkait?) Iya terkait, tapi sejauh mana keterlibatannya harus kita dalami lebih lanjut.

(Alat bukti?) Kalau tadi dikatakan alat bukti sudah kita penuhi, keterangan saksi sebanyak 16 orang, surat berkaitan dengan itu penerimaan uang Ary Muladi, petunjuk yang dirangkaian, ahli perbuatan pidana yang dilakukan oknum ini. Laporan Anggoro hanya jadi petunjuk LP yang kita telah buat.

0 komentar:

Posting Komentar