Penyalahgunaan Wewenang KPK Seharusnya Diuji di Praperadilan


Kepolisian dinilai tak berhak menguji sah atau tidaknya kewenangan pencekalan yang dimiliki pimpinan KPK.

Setelah ditetapkan Bareskrim Mabes Polri sebagai tersangka, dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto kembali menjalani pemeriksaan. Walau ini kali ketiga mereka diperiksa, substansinya hampir sama dengan pemeriksaan sebelumnya. Yang berbeda, hanyalah pada pemeriksaan ketiga ini, status Chandra dan Bibit bukan lagi sebagai saksi, melainkan sebagai tersangka.

Usai pemeriksaan, Chandra dan Bibit mengaku tidak mengetahui kapan lagi penyidik Direktorat III Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mabes Polri akan memeriksa mereka. Yang pasti, tanggal 28 September mendatang dua pimpinan KPK ini dikenakan wajib lapor untuk pertama kalinya.

Dalam pemeriksaan yang berlangsung hampir sebelas jam ini, Chandra dan Bibit didampingi tim advokasi. Bambang Widjajanto dkk mendampingi Chandra. Luhut Pangaribuan dan Iskandar Sonhadji mendampingi Bibit. Keterangan yang diberikan Bambang dan Luhut hampir serupa. Mereka menganggap ada perbedaan persepsi antara Kepolisian dan KPK.

Pencekalan yang dilakukan dua pimpinan di bidang penindakan ini dinilai menyalahi prosedur, sehingga dinyatakan melawan hukum. Padahal, menurut Bambang, andaikata memang terjadi pelanggaran prosedur, yang berhak menentukan pencekalan ini melawan hukum atau tidak adalah lembaga praperadilan. “Kalau kemudian Kepolisian menguji itu, dasar legal capacity-nya apa?”

Dan praperadilan itu, lanjutnya, dimohonkan oleh pihak yang merasa dirugikan, yakni Anggoro ataupun Joko Tjandra. Tapi, karena yang mengambil tindakan di sini adalah polisi, Bambang jadi bertanya-tanya, “apakah kepolisian mewakili kepentingan orang yang dirugikan itu? Polisi ini kan mewakili kepentingan rakyat Indonesia pada umumnya, bukan orang per orang”.

Walau dalam KUHAP pencekalan tidak disebut dapat dipraperadilankan, tapi menurut Bambang dan Luhut, upaya paksa tersebut dapat dipraperadilankan. “Kan gini, itu kan upaya paksa. Setiap penggunaan upaya paksa dari lembaga penegakan hukum, itu bisa dipersoalkan oleh orang yang dirugikan pada lembaga praperadilan, seperti penyitaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan SP3,” jelasnya.

Tapi, dalam perluasan interpretasinya, seluruh upaya paksa yang dilakukan lembaga penegakan hukum dapat dipraperadilankan. “Sebenarnya dalam extended interpretasi, semua upaya paksa dari lembaga penegakan hukum, itu bisa diuji di lembaga praperadilan,” tutur Bambang.

Sebagai catatan, KPK bukannya tidak pernah dijadikan termohon praperadilan karena pelaksanaan kewenangannya. Permohonan praperadilan terhadap KPK beberapa kali diajukan terdakwa korupsi seperti Al Amin Nasution atau bahkan kelompok masyarakat seperti Masyarakat Anti Korupsi.

Tak perlu kolektif
Kepolisian menduga pencekalan mantan pemegang saham PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo dan pencabutan cekal Dirut PT Era Giat Prima (EGP), Joko Tjandra yang dilakukan Chandra menyalahi prosedur. Begitu juga dengan pencekalan yang dilakukan Bibit sebelumnya terhadap Joko Tjandra.

Menurut Wakabareskrim Dikdik Mulyana Arif, pencekalan tersebut tidak ditetapkan melalui mekanisme kolektif kolegial. Selain itu, pencekalan Anggoro dan Joko tidak jelas dikeluarkan pada saat status mereka belum jelas sebagai apa. “Pasal 12 (UU KPK), (pencekalan dilakukan) dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Kalau orang tidak termasuk dalam status terlidik, tersidik, tertuntut, lalu dicekal, berarti ada pencekalan yang tidak sesuai dengan prosedur”.

Berdasarkan keterangan saksi sebanyak 16 orang, surat yang berkaitan dengan itu (penerimaan uang oleh Ary Muladi), petunjuk yang dirangkaian, serta ahli perbuatan pidana, polisi mengenakan Pasal 23 UU Korupsi jo Pasal 421 KUHP. Namun, Bibit menyatakan untuk mengeluarkan cekal di KPK, tidak perlu dilakukaan secara kolektif kolegial.

Iskandar Sonhadji memperjelas bahwa di KPK itu memang ada prosedur pengambilan keputusan secara kolektif kolegial, tapi hanya untuk keputusan yang sifatnya urgent. Kalau untuk yang sifatnya teknis, seperti pencekalan, cukup pimpinan KPK di bidang penindakan, dengan diberitahukan kepada pimpinan KPK yang lain. “Semua sudah ada bidangnya masing-masing. Dan prosedur seperti ini sudah berlangsung sejak zaman Taufiequrachman Ruki”,” imbuhnya.

Lebih dari itu, Bibit menyatakan pencekalan terhadap Joko Tjandra, karena Dirut EGP ini diduga terkait dalam kasus penyuapan Urip Tri Gunawan. Ketika itu, dalam percakapan Artalyta Suryani (Ayin) dan Urip, nama Joko Tjandra (Joker) sempat disebut-sebut. Namun, karena keterlibatannya tidak terbukti, pencekalan Joko Tjandra dicabut. Pencekalan ini, menurut Bibit, dilakukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan atas upaya pengembangan kasus Urip.

Pemerasannya mana?
Tidak hanya pasal penyalahgunaan wewenang, kedua pimpinan KPK ini juga dikenakan Pasal 12 huruf e jo Pasal 15 UU Korupsi tentang percobaan pemerasan/penyuapan. Namun, untuk dugaan percobaan pemerasan/penyuapan ini, polisi mengaku belum memiliki bukti. “Walaupun laporan utama (pemerasan) belum mampu dibuktikan karena banyak pernak-pernik untuk memenuhi unsur,” dalihnya.

Seperti diketahui, dugaan pemerasan/penyuapan, untuk sementara terhenti pada tersangka Ary Muladi. Polisi belum dapat membuktikan apakah uang yang diterima Ary dari Anggodo Widjojo, adik Anggoro, sampai ke oknum KPK atau tidak, sebagaimana laporan Ketua KPK non aktif Antasari Azhar.

“Ternyata yang bisa kami buktikan adalah oleh Ary Muladi. Faktanya, dia terima uang Anggodo sebanyak Rp5,15 miliar yang diserahkan di Hotel Peninsula, Jakarta pada 11 Agustus 2008, 13 November 2008, dan 13 Februari 2009. Ini fakta, dokumen penyerahan uang ada,” terang Dikdik.

Namun, karena laporan Antasari terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan oleh oknum KPK, polisi tetap memproses itu. Direktur III Tipikor Yoviannes Mahar merunutkan penggalan fakta yang akhirnya menimbulkan dugaan tersebut. Berawal dari penggeledahan Masaro yang dilakukan KPK berdasarkan kasus yang berbeda, yakni Tanjung Api-api. Yang berlanjut pada permintaan cekal terhadap Anggoro yang dinilai polisi tidak ada kaitannya dengan penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan yang tengah dilakukan KPK.

Dalam ketidakjelasan status Anggoro, muncul Ary Muladi yang mengaku kenal orang-orang KPK dan dapat menyelesaikan kasus Anggoro dengan satu catatan, yaitu Anggoro harus memberikan “atensi” kepada para pimpinan KPK. Untuk itu, Anggoro merogoh kocek sebesar Rp5,15 miliar. Tapi, miliaran uang itu tidak mengubah kondisi apapun. Anggoro masih tetap saja dicekal. Kemudian, Ary kembali muncul dan mengatakan ada pimpinan KPK yang belum “diatensi”, sehingga diberikanlah lagi Rp1 miliar oleh Anggoro.

Walau begitu, polisi tetap saja belum menemukan bukti aliran uang Anggoro yang berlabuh di KPK. Dan ini menimbulkan kejanggalan dalam pengenaan Pasal 12 huruf e jo Pasal 15 UU Korupsi kepada Chandra dan Bibit. “Suapnya (atau pemerasannya) mana? Kita sih mau to be clear aja deh. Ini masalah hukum dan hukum itu logis. Coba berikan kelogisan di situ,” cetus Bambang usai mendampingi Chandra. (Nov)

Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=23170&cl=Berita

0 komentar:

Posting Komentar