Cicak Nguntal Boyo (Cicak Telan Buaya)


Dukungan rakyat Indonesia terhadap KPK dan pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah terus mengalir deras. Dukungan dari kalangan seniman tidak terkecuali. Setelah Fariz RM, Netral, Once, Cholil, dan Jimmo berkolaborasi memproduksi ringtone "KPK di Dadaku". Dalam tiga hari "KPK di Dadaku" telah di-download hampir tiga ribu orang! (Donwload "KPK di Dadaku" di sini)

Baru-baru ini Chebolang yang juga dikenal dengan Kill The DJ, seniman hip-hop asal Jogja, membuat lagu berjudul "Cicak Nguntal Boyo" untuk mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya untuk KPK serta untuk Bibit dan Chandra. Cicak Nguntal Boyo sendiri berarti cicak menelan buaya. Dalam lagu ini diceritakan buaya yang meremehkan cicak karena kecil, ternyata malah ditelan cicak.

Dowload lagu "Cicak Nguntal Boyo" di sini.

Ayo dukung terus KPK, dan lawan kriminalisasi terhadap KPK! Seperti dilontarkan Chebolang dalam syairnya: Mungkin kita capek revolusi/Mungkin kita bosan demonstrasi/Tapi jangan pernah berhenti/Paling tidak tunjukan rasa peduli/Untuk indonesia yang kita cintai

---------------------------------

CICAK NGUNTAL BOYO

BY CHEBOLANG*

ANA CICAK NGUNTAL BOYO
BOYO COKLAT NYEKEL GODO
OJO SENENG NGUNTAL NEGORO
MUNDAK RAKYATMU DADI SENGSORO

INI CERITA NEGERI BEDEBAH
PEMIMPINYA HIDUP MEWAH
TAPI RAKYATNYA MAKAN SUSAH
HASIL DARI MENGAIS SAMPAH

DI NEGERI PARA BEDEBAH
YANG BAIK DAN BERSIH BISA SALAH
KEBOHONGAN ITU LUMRAH
RAKYAT KECIL HANYA BISA PASRAH

BUBRAH! PARAH!
BUBRAH! PARAH! BUBRAH!

ANA CICAK NGUNTAL BOYO
BOYO COKLAT NYEKEL GODO
OJO SENENG NGUNTAL NEGORO
MUNDAK RAKYATMU DADI SENGSORO

RAKYAT MENCARI PIMPINAN
KETEMUNYA JURAGAN
RAKYAT MENCARI IMAM, YA IMAM
KETEMUNYA TUAN

MAKA JANGAN-LAH JANGAN HERAN
JIKA ADA MAFIA DI PERADILAN
JUAL BELI PASAL DAN HUKUMAN
YANG KUAT BAYAR PASTI MENANG

KATANYA JAMAN SUDAH REFORMASI
TAPI HUKUM MASIH BISA DIBELI
JADI BARANG DAGANGAN, OBYEK KORUPSI
NGGAK PUNYA MALU DAN HARGA DIRI

KALIAN KIRA SELAMANYA RAKYAT KITA BODOH
JIKA RAKYAT MARAH TIRANI PASTI AKAN ROBOH!

ANA CICAK NGUNTAL BOYO
BOYO COKLAT NYEKEL GODO
OJO SENENG NGUNTAL NEGORO
MUNDAK RAKYATMU DADI SENGSORO

BIBIT ITU TUNAS
CANDRA ITU SINAR
YANG MENJADI SIMBOL
TEGAKNYA KEADILAN

LANGKAH KECIL TELAH DIMULAI
DARI BAYI BERNAMA DEMOKRASI
KEADILAN TAK BISA DITAWAR LAGI
KEPASTIAN HUKUM ADALAH HARGA MATI

MUNGKIN KITA CAPEK REVOLUSI
MUNGKIN KITA BOSAN DEMONSTRASI
TAPI JANGAN PERNAH BERHENTI
PALING TIDAK TUNJUKAN RASA PEDULI
UNTUK INDONESIA YANG KITA CINTAI

ANA CICAK NGUNTAL BOYO
BOYO COKLAT NYEKEL GODO
OJO SENENG NGUNTAL NEGORO
MUNDAK RAKYATMU DADI SENGSORO
________
*Chebolang biasa memakai nama Kill The DJ. Lagu ini saya tujukan sebagai bentuk dukungan yang bisa saya berikan untuk keadilan dan pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya untuk KPK dan Bapak Chandra dan Bibit. Beberapa teks saya ambil dari puisi Negeri Bedebah karya Adhie Massardi. Juga sepotong bait saya ambil dari syair lagu teater Salahudin (penulisnya saya lupa) yang waktu saya dengar saya masih SMP.


Teks lagu dari: [ ivo setyadi ]

Hanya Mencegah, KPK Tak Pernah Cekal Anggoro


Umum 06-11-2009
MedanBisnis – Jakarta

Polri menjerat dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto, dengan penyalahgunaan wewenang. Salah satu yang dipersoalkan adalah pencekalan terhadap Anggoro Widjojo. Tapi, apakah KPK pernah mencekal Anggoro? Data yang diperoleh menyebutkan ternyata KPK tidak pernah melakukan cegah dan tangkal (cekal), tapi hanya mencegah.

Pencekalan terhadap Anggoro ini sudah menjadi opini yang berkembang luas, termasuk dipakai juga oleh Polri dalam menyidik Chandra dan Bibit terkait penyalahgunaan wewenang. Pencekalan Anggoro ini juga dijadikan alasan oleh Anggodo Widjojo yang memprotes, gara-gara pencekalan ini kakaknya tidak bisa pulang ke Indonesia.

Namun, informasi ini tidak tepat. Dokumen berupa surat KPK kepada Dirjen Imigrasi Departemen Hukum dan HAM tertanggal 22 Agustus 2009 yang diperoleh, Kamis (5/11), KPK hanya meminta bantuan untuk mencegah/melarang bepergian ke luar negeri terhadap 4 orang, salah satunya adalah Anggoro.

Di perihal surat juga disebutkan ‘pelarangan bepergian ke luar negeri a.n Anggoro Widjojo dkk. Sama sekali tidak ada dalam surat itu permintaan cegah dan tangkal (cekal). Selama ini dipahami istilah cegah adalah larangan bepergian ke luar negeri dan tangkal dipahami sebagai larangan masuk ke Indonesia.

Permohonan cegah memang ditandatangani Chandra M Hamzah selaku wakil ketua KPK. Surat permohonan itu ditembuskan ke Menteri Hukum dan HAM, Kakanim Bandara Soekarno-Hatta dan Kepala OIC Bandara Soekarno-Hatta. Permohonan cegah dilakukan guna memudahkan kepentingan penyidikan kasus korupsi dengan tersangka Yusuf Erwin Faishal.

Ada empat orang yang dimohon pencegahan/larangan bepergian ke luar negeri. Yaitu Anggoro Widjojo, Putronefo A Prayugo (Direktur Masaro Radiokom), Anggono Widjojo (Preskom Masaro Radiokom), dan David Angkawijaya (Direktur Keuangan Masaro Radiokom).

Soal pencekalan Anggoro ini penting diluruskan. Sebab, ada dugaan bahwa gara-gara isu pencekalan ini, KPK dituding menghentikan kasus Anggoro untuk mengamankan mantan Menhut MS Kaban. Alasannya, dengan Anggoro tidak bisa kembali ke Indonesia, maka kasus ini otomatis akan terhenti.

Namun, dengan tidak ada surat cekal, maka dugaan ini pun terbantahkan. Dengan hanya ada pencegahan, Anggoro bisa masuk ke Indonesia.

"Jadi kalau masuk justru diharapkan," kata Deputi Penindakan KPK Ade Raharja.

Dugaan keterlibatan MS Kaban dalam kasus ini, karena ada bukti pemberian uang Rp 14 miliar yang ditujukan kepada Kaban saat KPK menggeledah kantor Masaro. Namun, hingga saat ini KPK belum menindaklanjuti kasus ini, karena masih perlu data pendukung lainnya. (dcn)
Sumber: Medan Bisnis

Ringtone "KPK di Dadaku"



Sebagai bentuk dukungan kepada gerakan antipelemahan dan kriminalisasi KPK untuk Indonesia yang bersih dari korupsi, sejumlah musisi ternama Indonesia menciptakan ringtone “KPK di Dadaku“. Para musisi tersebut adalah Fariz RM, Once “Dewa 19″, Jimmo dari “Kadri Jimmo The Pinzes of Rythm”, Cholil “Efek Rumah Kaca”, serta band Netral.

Segera download ringtone “KPK di Dadaku” di sini sebagai bentuk dukungan kepada gerakan antipelemahan dan kriminalisasi KPK untuk Indonesia yang bersih dari korupsi.

Salam antikorupsi!

Hormat kami,

Pembela KPK

Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah


Di bawah ini adalah tautan/link untuk mengunduh/download "PERNYATAAN JAMINAN PRIBADI UNTUK PEMBEBASAN PIMPINAN KPK NON AKTIF BIBIT SAMAD RIANTO DAN CHANDRA M. HAMZAH ("Pernyataan Jaminan")."

Silahkan klik di SINI untuk mengunduh/download Pernyataan Jaminan.

Petunjuk unduh/download dan pengisian:
1. Klik di SINI atau tautan yang disediakan di atas.
2. Setelah halaman fail/dokumen "Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah" terbuka, klik "Download".
3. Buka dokumen "Pernyataan Jaminan Pribadi untuk Pembebasan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah" di komputer/HP Anda, kemudian tulis nama/nama-nama (kalau lebih dari 1 orang) dan pekerjaan/profesi pada kolom yang kosong, kemudian simpan/save dokumen yang telah Anda isi.
4. Kirim fail/dokumen Pernyataan Jaminan yang telah Anda isi melalui e-mail ke pembelakpk@gmail.com.

Upaya pemberantasan korupsi TIDAK BOLEH DIKRIMINALISASI! Mari sampaikan dukungan kepada Bibit dan Chandra untuk Indonesia yang bersih dari korupsi!

Begini Kronologi Sampai Pimpinan KPK Ditahan

Jum'at, 30 Oktober 2009 09:43 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Polisi akhirnya menahan dua petinggi KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Polisi menahan dengan alkasan keduanya mempersulit penyidikan.
Banyak kalangan menuding bahwa kasus keduanya merupakan hasil persekongkolan tersangka koruptor dengan penegak hukum, serta pembiaran oleh penguasa.

Menurut polisi? "Keduanya (ditahan karena) mempersulit penyidikan," kata Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal, Dikdik Mulyana Arif Mansyur.

Berikut ini kronologinya:

23 JUNI 2009
KPK menyatakan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan alat komunikasi terpadu Departemen Kehutanan pada 2007.

30 JUNI 2009
Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Susno Duadji, yang sedang menangani kasus Bank Century, menyatakan teleponnya disadap. Belakangan, KPK mengatakan memang sedang menyelidiki dugaan suap kepada petinggi kepolisian berinisial SD dalam kaitan dengan kasus Bank Century.

10 JULI 2009
Susno menemui Anggoro, yang jadi buron KPK, di Singapura.

4 AGUSTUS 2009
Antasari Azhar, Ketua KPK (nonaktif) yang ditahan polisi untuk kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, membuat testimoni yang menyatakan Anggoro mengaku menyuap dua petinggi KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, Rp 6 miliar melalui Ary Muladi.

15 SEPTEMBER 2009
Polisi menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang. Belakangan, kuasa hukum Bibit dan Chandra mengatakan tuduhan untuk kliennya berubah-ubah, dari penyuapan hingga pemerasan.

30 SEPTEMBER 2009
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mengatakan, tuduhan untuk Bibit dan Chandra yang berubah-ubah memberi kesan bahwa polisi baru mencari-cari kesalahan keduanya.

10/20 OKTOBER 2009
Kejaksaan menilai berkas Chandra dan Bibit belum lengkap dan mengembalikannya kepada polisi.

12 OKTOBER 2009
Ary mencabut pengakuannya kepada polisi bahwa ia telah menyuap Bibit dan Chandra.

24 OKTOBER 2009
Beredar transkrip penyadapan telepon Anggoro dan adiknya, Anggodo Widjojo, dengan koleganya. Transkrip itu menyebut nama Presiden, Susno, serta pejabat kejaksaan, dan di antaranya membicarakan upaya kriminalisasi pimpinan KPK dan pembubaran lembaga ini.

29 OKTOBER 2009
1. Mahkamah Konstitusi memerintahkan KPK menyerahkan rekaman dugaan rekayasa kasus pidana Bibit dan Chandra yang transkripnya beredar.
2. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein menyatakan tidak ada aliran dana dari Ary ke Bibit dan Chandra.
3. Presiden Yudhoyono menyatakan pemberantasan korupsi harus difokuskan pada pencegahan, bukan dengan menjebak.
4. Polisi menahan Chandra dan Bibit.

Sumber: Tempo Interaktif

Transkrip Rekaman Bukti Rekayasa Kasus KPK

"Kamu Ngomong ke Rit (Pimpinan Kejagung)"

Sejumlah nama petinggi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI bermunculan.

Senin, 26 Oktober 2009, 11:47 WIB

Karaniya Dharmasaputra, Yudho Rahardjo, Ita Lismawati F. Malau

VIVAnews - TRANSKRIP rekaman itu beredar di kalangan terbatas sejak hari Minggu kemarin, 25 Oktober 2009. Isinya, sebagaimana telah diberitakan VIVAnews sebelumnya, kuat mengindikasikan adanya rekayasa sistematis untuk mengkriminalisasikan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Seorang sumber tepercaya VIVAnews yang terlibat langsung dalam pusaran perkara ini mengkonfirmasikan kesahihan dari transkrip tersebut.

Transkrip itu, tak lain, adalah cuplikan percakapan yang terekam dalam penyadapan yang dilakukan KPK terhadap Anggodo Widjojo, adik Anggoro Widjojo--bos PT Masaro Radiokom yang kini menjadi buronan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.

Sejumlah nama petinggi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI, termasuk jaksa dan polisi penyidik, disebut-sebut di dalamnya. Salah satunya diduga Wisnu Subroto yang ketika itu menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen. Kepada VIVAnews, Wisnu keras membantah.

Pejabat yang lain yang namanya disebut-sebut diduga adalah Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji. Ditanya wartawan Senin, 26 Oktober 2009 di Bogor, ia hanya menggumam, "... Ehmmm."

Dari Mabes Polri juga muncul nama yang diduga adalah Irjen Pol. Hadiatmoko, Wakil Kepala Bareskrim Polri yang kini menjabat sebagai perwira tinggi di Mabes Polri. Dikonfirmasi VIVAnews, Hadiatmoko hanya menjawab singkat, "No comment."

Ihwal dugaan sejumlah perwira tinggi kepolisian ini, Kepala Kepolisian RI Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri berjanji akan mempelajarinya.

Adapun Kepala Humas Kejaksaan Agung Didi Juru Bicara Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menantang balik KPK untuk membuka bukti rekaman itu. "Silakan saja kalau mau diungkap," katanya, Selasa 20 Oktober 2009.

Berikut cuplikan transkrip tersebut yang didapat wartawan VIVAnews.

Anggodo ke Wisnu Subroto (22 Juli 2009:12.03)

“… nanti malam saya rencananya ngajak si Edi (Edi Soemarsono, saksi dan teman dekat mantan Ketua KPK Antasari Azhar, red.) sama Ari (Ari Muladi, tersangka kasus pemerasan dan teman Anggodo, red.) ketemu Truno-3 (Mabes Polri kerap disebut sebagai "Trunojoyo").

Wisnu Subroto ke Anggodo (23 juli 2009:12.15)

“Bagaimana perkembangannya?”

“Ya, masih tetap nambahin BAP, ini saya masih di Mabes.”

“Pokoknya berkasnya ini kelihatannya dimasukkan ke tempatnya Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung), minggu ini, terus balik ke sini, terus action.”

“RI-1 belum.”

Udah-udah, aku masih mencocokkan tanggal.”

Anggoro ke Anggodo (24 Juli 2009:12.25)

Yo pokoke saiki Berita Acara-ne kene dikompliti (ya pokoknya sekarang Berita Acara-nya dilengkapi).”

Wes gandeng karo Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung) kok dek’e (dia sudah nyambung kok dengan R)

Janji ambek Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung), final gelar iku sama kejaksaan lagi, trakhir Senen (Janji sama Rit gelar perkara final dengan kejaksaan lagi, terakhir Senin).”

“… sambil ngenteni surate RI-1 thok nek? (... tinggal menunggu surat dari RI-1?)”

Lha, kon takok’o Truno, tho (ya kamu tanyakan ke Trunojoyo, dong).”

Yo mengko bengi, ngko bengi dek’e (ya nanti malam saya tanyakan ke dia).”

Hadiatmoko ke Anggodo (27 Juli 2009, 18.28)

“..dan ini kronologinya saya sudah di Bang Far (nama lelaki) semua,”

“Sebetulnya ada satu saksi lagi si Edi Sumarsono, Pak, yang Antasari itu, Pak. Sama pembuktian lagi waktu Ari kesana, ada pertemuan rapat dengan KPK, Pak.”

“Ada pertemuan di ruang rapat Chandra (Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah, red.)”

Anggodo ke Kos (nama laki-laki, red) (28 Juli 2009, 12.42)

“Kos, itu kronologis jangan lu kasih dia loh, Kos.”

“Jangan dikasihkan soalnya Edi sudah berseberangan.”

Cuman lu harus ngomong sama dia: ’terpaksa lu harus jadi saksi,’ karena Chandra lu yang perintah, kalao nggak, nggak bisa nggandeng.”

Anggodo ke seorang perempuan (28 Juli 2009, 21.41)

Besok kon tak ente…, ngomong ke Rit (nama salah satu pucuk pimpinan Kejaksaan Agung, red.) (Besok kamu saya tunggu ..., bicara ke R), Edi Sumarsono itu bajingan bener, sebenarnya dia mengingkari semua.”

“Besok penting ngomong. Edi ngingkari, Pak, padahal Antasari bawa Chandra.”

Anggodo ke Prm (penyidik) (29 Juli 2009, 13.09)

“Kelihatannya kronologis saya yang benar.”

“Iya sudah benar kok, saya lihat, di surat lalu lintas. Saya sudah ngecek ke Imigrasi, sudah benar kok.”

Anggodo ke Wisnu Subroto (29 Juli 2009, 13.58)

“Terus gimana, Pak, mengenai Edi gimana, Pak?”

“Edi udah tak omongken Ir (nama salah satu jaksa di Kejaksaan Agung) apa. Ini bukan sono yang salah, kita-kita ini yang jadi salah.”

“Iya, padahal dia saksi kunci Chandra.”

“Maksud saya Pak, dia kenalnya dari Bapak dan Pak Wisnu (nama petinggi Kejaksaan Agung), gak apa-apa kan, Pak.”

Nggak apa-apa, kalau dari Wisnu nggak apa-apa lah.”

“Kalau kita ngikutin, kan berarti saya ngaku Ir (nama jaksa di Kejaksaan Agung) kan. Cuma kalau dia nutupin dia yang perintah… perintahnya Antasari suruh ngaku ke Chandra itu gak ngaku. Terus siapa
yang ngaku?”

“Ya, you sama Ar.”

“Nggak bisa dong Pak, wong nggak ada konteksnya dengan Chandra.”

“Nggak, saya dengar dari Edi.”

“Iya dari Edi, emang perintahnya dia Pak. Lha, Edinya nggak mau ngaku, gitu Pak, dia nggak kenal Chandra, saya ndak nyuruh ngasihin duit, gimana, Bos?”

“Ya ndak apa-apa”

Anggodo ke Wisnu Subroto (30 Juli 2009, 19.13)

“Pak tadi jadi ketemu?”

Udah, akhirnya Kos (nama seseorang) yang tahu persis teknis di sana. Suruh dikompromikan di sana, Kosasih juga sudah ketemu Pak Susno, dia juga ketemu Pak Susno lagi si Edi. Yang penting kalo dia tidak mengaku susah kita.”

“Yang saya penting, dia menyatakan waktu itu supaya membayar Chandra atas perintah Antasari.”

“Nah itu.”

Wong waktu di malam si itu dipeluk anu tak nanya, kok situ bisa ngomong. Si Ari dipeluk karena teriak-teriak, dipeluk sama Chandra itu kejadian.”

“Bohong, nggak ada kejadian, kamuflase saja.”

Nggak ada memang. Jadi dia cuma dikasih tau disuruh Ari gitu. Dia curiga duite dimakan Ari.”

“Bukan sial Ari-nya Pak, dia cerita pada waktu ke KPK dia yang minta
Ari, kalau ditanya saya bilang Edi ada di situ, diwalik (dibalik) sama-sama doa, Ari yang suruh ngomong dia ngomong dia ada. Kalau itu saya gak jadi masalah pak, itu saya suruh…”

“Pokoknya yang kunci-kuncinya itu saya sudah ngomong sama Kosasih, kalo tidak ada lagi…nyampe…ya berarti ya enggak bisa kasus ini gitu.”

“Yang penting buat saya Pak si Ari ini, dia ngurusi AR (pimpinan KPK, red) segala. Ujung-ujungnya dia dapet perintah nyerahkan ke Chandra itu siapa, Pak? Kan nggak nyambung, Pak”

“Bukan Pak, dia memerintahkan nyerahken ke Chandra yang Bapak juga tahu, kan, karena kalo gak ada yang merintah Chandra, Pak, nggak nyambung uang itu, lho."

“Memang keseluruhan tetap keterangan itu, kalau Edi nggak ngaku ya
biarin yang penting Ari sama Anggodo kan cerita itu”

Kan saksinya kurang satu.”

“Saksinya akan sudah dua, Ari sama Anggodo”

“Saya bukan saksi, saya kan penyandang dana, kan.”

“Kenapa dana itu dikeluarkan, karena saya disuruh si Edi kan, sama saja kan, hahaha…”

“Suruh dia ngaku lah, Pak, kalao temenan kaya gini ya percuma, Pak, punya temen.”

“Susno dari awal berangkat sama saya ke Singapura. Itu dia sudah tahu Toni itu saya, sudah ngerti, Pak. Yang penting dia nggak usah masalahin. Itu kan urusan penyidik.”

"Yang penting dia ngakuin itu bahwa dia yang merintahkan untuk nyogok Chandra, itu aja.”

“Sekarang begini, dia perintahkan kan udah Ari denger, you denger kan. Sudah selesai…”

“Tapi, kalo dia nggak bantu kita Pak, terjerumus. Dia dibenci sama Susno.”

Biarin aja, tapi nyatanya dia ngomong dipanggil Susno.”

Anggodo dengan seorang perempuan (6 Agustus 2009, 20.14)

Iyo tapi ditakono tanda tangani teke sopo, iya toh gak iso jawab.
Modele bajingan kabeh, Yang.
Chandra iku yo, wis blesno ae, Yang, ojo ragu-ragu… (Iya, tapi ditanyakan ini tanda tangan siapa, iya toh tidak bisa menjawab. Modelnya bajingan semua, Yang. Chandra itu dijebloskan saja, Yang, jangan ragu-ragu...).”

Anggodo dengan seorang laki-laki (7 Agustus 2009, 22.34)

“Menurut bosnya Trunojoyo, kalau bisa besok sudah keluar.”

“Dia bilang tidak bagus, karena pemberitaannya hari Minggu,
orang sedang libur. Bagusnya Senin pagi, langsung main.”

“Truno (Trunojoyo, red) minta TV dikontak hari ini, supaya besok counter-nya dari Anggoro.”

Anggodo dengan …(8 Agustus 2009, 20.39)

Nggak usah ngomong sama penyidik. Cuma Abang saja tahu bahwa BAP-nya Ari tuh seperti itu. Jadi dalam posisi dia BAP, masih sesuai apa yang dia anu. Jangan sampai dia berpikir, kita bohong.”

“Siap, Bang.”

“Sama harus dikaitkan ini, seperti sindikat Edi, Ari sama KPK satu
sindikat mau memeras kita, ya Bang”

“Iya.”

“Intinya si Ari sudah di BAP seperti kronologis. Kenapa kok kita laporkan Ari itu. Kenapa sudah laporan begini kok dia melarikan diri.
Gitu loh. Dan si Edi itu di BAP itu nggak ngaku. Kita nggak usah ngomong. Pokoknya si Edi nggak tahu kita.

”Bang, nanti maksudnya di BAP kita nantinya, inti bahwa pengakuan itu, Bang.”

“Iya.”

“Sekarang jangan dibuka dulu. Maksudnya status si Ari itu, kita merasa Ari sama Edy dan ini tuh, ini kita diperas KPK sudah kita bayar. Kenapa jadi masalah begini. Gitu loh, Bos.”

“Iya.”

“Menurut pengakuan Ari, dia sudah membayar seluruh dana tersebut kepada orang-orang KPK, nggak tahu siapa.”

“Betul.”

Al (nama seorang laki-laki) dengan Anggodo (10 Agustus 2009,17.33)

“Secara keseluruhan apik (bagus). Anggoro nggak lari.”

Kenceng dia ngomonge (gamblang dia bicaranya).”

Kenceng. Tak rekam banter mau? (Gamblang. Saya rekam keras-keras mau?)”

Yo wes (ya sudah). Terus poin-poinnya tersasar, kan?”

“Sudah.”

“Tidak lari. Ciamik dee njelasno (bagus sekali dia menjelaskannya).”

“Ini ada suatu rekayasa, nampak dari pemanggilan jadi saksi terus tersangka. Tenggat waktu 9 bulan. Sudah kondusif. Moro-moro (tiba-tiba) karena ada testimoni, muncul pemanggilan sebagai tersangka. Secara keseluruhan oke.”

“Mengenai cekal, salah sasaran”

“Ya dalam kasus Yusuf Faisal, kok dicekal Anggoro. Itu bagaimana.
Penyitaan dan penggeledahan juga salah sasaran. Dalam kasus Yusuf
Faisal, kok yang digeledah Masaro. Pokoknya intinya sudah masuk semua.”

Alex dengan Anggodo dan Rob (nama laki-laki 3) (10 Agustus 2009:18.07)

“Iya memang di cuplikan. Nggak banyak, tapi intinya kita berkelit, kalau ini bukan penyuapan. Karena di awal itu, beritanya dari Antasari dulu, testimoni itu. Jadi dia cuplik dari Antasari, terus baru disambung ke kita, jadi dijelaskan sama Bon (nama pengacara Anggoro), kalo itu bukan penyuapan. Dan permasalahannya, kedatangan Antasari menemui Anggoro itu juga membawa konsekwensi Antasari bisa dipermasalahkan”

Ngomong gimana? Pengacara dari Anggoro press release hari ini.”

Sumber: VIVAnews

Kasus Kabareskrim: Mabes Polri Ungkap Kesalahan Susno


JAKARTA (Lampost): Tudingan pelanggaran Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Susno Duadji makin jelas. Mabes Polri mempertegas kebenaran adanya pertemuan Susno dengan buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Anggoro Widjaja.

Tim kuasa hukum pimpinan KPK menilai bukti pertemuan Susno dan Anggoro dipertegas oleh pernyataan polisi. Namun, polisi berdalih pertemuan itu dalam rangka pemeriksaan oleh Kabareskrim terhadap bos PT Masaro Radiokom yang terjerat kasus suap pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. Polisi menyebutkan, saat pertemuan itu status Anggoro sudah sebagai saksi.

Salah seorang tim kuasa hukum dua pimpinan nonaktif KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, Bambang Widjojanto, menegaskan saat pertemuan dilakukan status Anggoro belum menjadi saksi.

"Kalau Pak Nanan (Kadiv Humas Mabes Polri, red) bilang Pak SD bertemu Anggoro dalam kapasitasnya memeriksa saksi, itu salah. Karena waktu itu Anggoro belum ditetapkan sebagai saksi," kata Bambang Widjojanto di Gedung KPK, kemarin.

Menurut Bambang, Anggoro baru ditetapkan sebagai saksi oleh polisi pada Agustus 2009. Hal itu berkaitan dengan dugaan suap pimpinan KPK. Sedangkan pertemuan Susno dengan Anggoro dilakukan pada 10 Juli 2009, atau tiga hari setelah KPK menyatakan Anggoro sebagai buron.

Sementara KPK menetapkan Anggoro tersangka sejak 19 Juni 2009. Keterlibatan Anggoro diketahui dalam persidangan kasus suap proyek Tanjung Api-Api dengan terdakwa Yusuf Erwin Faishal. Dalam persidangan, Yusuf Erwin didakwa menerima uang Rp125 juta dan 220 ribu dolar AS.

"Jadi, kalau kita ikuti logika Pak Nanan, pertanyaan mendasarnya menetapkan orang sebagai saksi kok enggak diperiksa? Malah saksinya kabur. Masuk akal enggak?" kata Bambang.

Sementara itu, Ahmad Rifai, kuasa hukum Bibit dan Chandra lainnya, mengemukakan pernyataan Nanan mengenai pertemuan Susno dan Anggoro justru mempertegas bukti bahwa Susno memang menemui Anggoro. "Ini menunjukkan sudah layak diproses." n MI/U-3

Sumber: Lampung Post
Foto: Hukumonline

Lawyers to unveil engineering over case of KPK chairmen



Jakarta (ANTARA News) - A team of lawyers of suspended Corruption Eradication Commission (KPK) chairmen Bibit Samad Riyanto and Chandra Hamzah said they planned to unveil alleged engineering of the charges for their clients.

One of the team members, Bambang Widjojanto, said at the KPK headquarters here on Thursday the team had kept some strong evidence materials to prove the engineering that led to the naming of the KPK chairmen suspects.

"The data may possibly make all the consideration used on the case be changed," he said but declined to explain further about it.

He said the data would be useful for the public to get other version of the case.

So far, he said, the public had received imbalanced information that had led them to believe that the charges were not engineered.

"The data would show if the case is real or not, or wether it is engineered," he said.

He said the team believed the data would be useful to prove that the case had been engineered."We wish to prove it," he said.

Bambang said the data would unveil everything behind the bribery and power abuse charges that had been levelled at the KPK chairmen.

On the occasion Bambang also talked about a written testimony signed by Ary Muladi and Anggodo Widjojo dated July 15, 2009 that told about the chronology of the bribery allegation.

Bambang said with the data the team hoped they could unveil stories behind the written document.

"I gave you a clue, namely the data would explain everything," he said.

Another team member, Ahmad Rifai, said earlier that the police should not have used the written testimony as the basis for declaring someone as a suspect. He said they should have verified it first before declaring someone a suspect. "This isn`t fair," he said.(*)

Many cases under Susno dropped

The Jakarta Post , Jakarta Wed, 10/14/2009 10:38 AM Headlines

Activists have accused the National Police of intentionally burying major cases, particularly graft-related, under chief detective Comr. Gen. Susno Duadji, saying they have criminalized graft fighters instead.

"We have recorded a number of unresolved graft cases handled by the Bareskrim [criminal detective body]. Those cases are far more important for the public, rather than naming activists as libel suspects or former anti-graft body deputies as suspects in the alleged abuse of power," Emerson Yuntho of the Indonesia Corruption Watch told The Jakarta Post on Tuesday.

Media reports have recorded dozens of major cases that are unresolved or were dropped by the Bareskrim in the past year.

In March, Susno took over the investigation into the voter list fraud case during the East Java 2008 gubernatorial election from the East Java Police. The takeover of the case took place shortly after Soekarwo, nominated by President Susilo Bambang Yudhoyono's Democratic Party, was sworn in as the new governor on Feb. 12, 2009.

The case, which implicated the provincial polling body's former chairman, was investigated by local police and following a legal complaint by Soekarwo's rival Khofifah Indar Parawansa, nominated by the United Development Party (PPP) and former president Megawati Soekarnoputri's Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).

The takeover of the case was followed by the replacement of Insp. Gen. Herman Surjadi Sumawiredja by Brig. Gen. Anton Bachrul Alam as East Java police chief.

Protesting the national unit’s intervention, Herman then filed a resignation letter to the National Police, declaring interference "from a higher position" as the main reason for his departure.

Last October, the Bareskrim extended its investigations to include a graft allegation in connection with the purchase of Zatapi crude oil involving the state oil and gas firm PT Pertamina, local companies said to be close to the Presidential Palace and to Singapore-based oil importer PT Gold Manor International.

The police named four Pertamina officials and a director of Gold Manor as suspects but did not detain them. The suspects’ names have also never been announced publicly and the case was subsequently closed.

The then National Police chief Gen. Sutanto was appointed as Pertamina chief commissioner in January while the graft case was still in progress. He was also included in the SBY-Boediono campaign team in the recent presidential election.

Susno’s squad, in March, carried out an investigation into the US$197.5 million Indover bank scandal but many sources have claimed the case has already been dropped.

Indonesian Police Watch coordinator Neta S. Pane said police had no choice but to clarify the status of unresolved cases to the public.

"Otherwise, the public may question their professionalism. The police may also lose the public trust," he said.

National Police spokesman Sr. Comr. I Ketut Untung Yoga Ana could not explain the main reasons behind the dropped cases and the halted investigations into others.

"I don’t know the details of each case. Detectives must have explanations on the progress of investigations into these cases," he said. (bbs)

Unresolved cases:
2008: Zatapi scandal
2009: Indover bank scandal
2005: Police's 15 problem bank accounts

Closed cases:
2008: voter roll fraud in East Java
2008: 13 illegal logging cases in Riau

Sumber: The Jakarta Post

Pengacara Temukan Perubahan Isi BAP Bibit



Jakarta (ANTARA News) - Tim pengacara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah menemukan perubahan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas nama Bibit Samad Riyanto.

Anggota tim pengacara, Achmad Rifai ketika dihubungi di Jakarta, Selasa, mengatakan, ada beberapa keterangan yang disampaikan Bibit tidak dimasukkan ke dalam BAP oleh penyidik Mabes Polri. Namun, ada beberapa keterangan yang tidak disebutkan justru muncul di BAP."

Jadi dalam BAP ada yang disebutkan oleh klien kami tetapi tidak dimasukan. Dan ada yang tidak disebutkan oleh klien kami malah dimasukan," Kata Rifai.

Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan status cegah (larangan pergi ke luar negeri) terhadap pengusaha Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo.

Rifai mencontohkan, perubahan itu muncul dalam jawaban Bibit atas pertanyaan penyidik polisi tentang dasar hukum bagi KPK dalam penerbitan cegah terhadap seseorang. "Pak Bibit jawab ada (dasar hukum) tetapi di BAP dibilang tidak ada," kata Rifai.

Dasar hukum yang dimaksud adalah pasal 12 Undang-undang KPK yang secara tegas memberikan kewenangan kepada KPK untuk mencegah seseorang untuk pergi ke luar negeri.

Selain itu juga ada pasal 25 dan pasal 21 Undang-undang KPK. Pasal-pasal itu pada intinya menyatakan bahwa kepemimpinan KPK bersifat kolegial, namun KPK berwenang menerbitkan aturan internal untuk mengatur mekanisme tata pelaksanaan kerja KPK.

Ketentuan itu ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Pimpinan KPK nomor 33 tahun 2007 dan Surat Keputusan Pimpinan KPK nomor 447 tahun 2008 tentang Pembagian tugas Pimpinan.

Keputusan itu kemudian dituangkan dalam dituangkan lagi dalam bentuk prosedur operasional standar yang dilaksanakan oleh masing-masing unit kerja kedeputian, direktorat, kesekjenan dan biro-biro di KPK.

"Jadi itu bukti pencekalan sudah sesuai dengan aturan," kata Rifai.

Menurut dia, Bibit pernah mengklarifikasi perubahan isi BAP itu kepada pihak kepolisian. Bibit meminta keterangan yang dia berikan seharusnya dituangkan apa adanya dalam BAP, tidak perlu diubah.

Menurut Rifai, upaya untuk mengubah BAP merupakan pelanggaran hukum. "Oleh karena itu kita kemarin melaporkan ke Itwasum (Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri)," katanya.
Meski sudah menerima laporan , Itwasum tidak menyatakan perubahan BAP sebagai bentuk pelanggaran.

"Karena itu kita tidak percaya lagi mereka (polisi) bisa independen untuk menyelidiki dugaan kasus tersebut," kata Rifai menambahkan. Rifai juga menyesalkan terlambatnya penyerahan turunan BAP dari penyidik Polri ke pihak Bibit dan Chandra serta penasihat hukum mereka.

Menurut Rifai, penyidik Polri tidak segera menyerahkan BAP itu karena berkonsultasi dengan pimpinan mereka. "Ini kan sudah intervensi pimpinan ke penyidik dalam penyidikan," katanya.

BAP itu baru diterima Bibit dan Chandra serta pihak penasihat hukum pada pekan lalu. Padahal, seharusnya BAP tersebut sudah diterima pada 18 September 2009.(*)
Foto: Vivanews.com

Disoal, Testimoni Jadi Alat Bukti


13 Oktober 2009

JAKARTA - Tim pengacara dua pimpinan KPK mempertanyakan kembali digunakannya testimoni sebagai bukti terjadinya dugaan suap. Padahal, testimoni tidak dapat dijadikan bukti yang kuat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. ’’Jika (testimoni) bisa menjadikan orang tersangka, buat saja testimoni untuk menjatuhkan seseorang,’’ ujar Ahmad Rifai, anggota tim pengacara dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, di Gedung KPK, Senin (12/10).


Padahal menurutnya, testimoni tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan sebagai tersangka. Setelah beredar testimoni Antasari Azhar, dokumen bertanggal 15 Juli 2009 berisi testimoni Ary Muladi dan adik Anggoro Widjojo, Anggodo, soal kronologi suap di KPK juga beredar.


Di dalam berkas itu tercantum tanda tangan kedua orang tersebut di atas materai. Pengakuan kronologi inilah yang menjadi pegangan Polri untuk menelisik dugaan suap di KPK. Menurut Rifai, hal ini sangat aneh. Hal ini menyusul, pihak Ary melalui pengacaranya, Sugeng Teguh Santoso, menegaskan keterangan yang dibuat di dokumen itu tidak benar. ’’Perlu ditelusuri siapa pihak yang membuat testimoni,’’ ujarnya.(J13-62)


Foto: hukumonline.com

Berkas Dikembalikan, Polisi Didesak SP3

Senin, 12 Oktober 2009 19:46

JAKARTA - Desakan penghentian penyidikan dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan dugaan suap yang melibatkan Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah dan Bibit S Riyanto kembali muncul. Itu setelah adanya pengembalian berkas Chandra dari kejaksaan ke penyidik kepolisian.

"Kalau datanya kurang, (terbitkan) SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) saja," kata Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko di Jakarta kemarin (11/10). Menurutnya, sulit mengadili dugaan suap jika alat buktinya kurang.

Dia mempertanyakan alasan jika penyidik tetap melanjutkan penyidikan, sebab saksi Ari Muladi, yang disebut menyerahkan uang ke pimpinan KPK, justru telah mencabut keterangannya. "Kalau suap tidak ada, tinggal (kasus) penyalahgunaan wewenangnya. Itu pun masih dipermasalahkan," katanya.

Danang mengatakan, polisi harus profesional dalam menyidik kasus Chandra dan Bibit. Artinya, harus didasari dengan alat bukti dan bukan karena kepentingan tertentu. "Kalau dihentikan, itu justru menyelamatkan institusi Polri," terang dia.

Seperti diketahui, Kejagung mengembalikan berkas Chandra ke polisi dengan alasan berkas belum lengkap. Kekurangan terletak pada pasal yang disangkakan, yakni Pasal 12 huruf (e) jo Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor. Pasal itu mengatur tentang pemerasan/penyuapan. "Ada unsur-unsur yang harus dipertajam, misalnya dilengkapi dengan alat bukti," kata JAM Pidsus Marwan Effendy. Selain pasal itu, Chandra juga disangka dengan Pasal 23 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 421 KUHP. Sementara berkas Bibit belum dilimpahkan ke kejaksaan.

Terpisah, Ahmad Rivai dari Tim Pembela Hukum KPK mengungkapkan, sejak jauh hari polisi tak layak melimpahkan kasus itu ke Kejagung. "Memang proses itu sangat dipaksakan. Kejagung harus menolak itu," katanya, kemarin.

Dia menambahkan, kejanggalan penanganan kasus yang melibatkan Chandra dan Bibit makin menyeruak. Idealnya dalam penanganan kasus pidana, tersangka diproses belakangan. Para saksi yang mengetahui kasus itu diperiksa terlebih dahulu. "Kenyataannya justru tidak. Pemeriksaan tersangka dituntaskan dulu baru menyelesaikan saksi," ujarnya.

Bahkan dalam pemeriksaan itu, Chandra juga mengajukan saksi ahli atas kasus yang membelitnya. "Belum sampai saksi ahli diperiksa, perkara sudah dilimpahkan. Ini menandakan bahwa rekayasa kasus tersebut sangat murni," ujar advokat muda tersebut.

Bagaimana dengan kasus suap yang ditudingkan kepada pimpinan KPK? Sejak awal, kata Rivai, Kabareskrim sudah berterus terang kepada pimpinan KPK bahwa mereka bersih dari aliran dana. "Tapi mengapa dia memaksakan menangani kasus ini. Ini berarti ada pernyataan bohong," tuding Rivai.

Karena yang disangkakan tidak beralasan, sudah selayaknya polisi mengeluarkan SP3. "Karena selama ini juga tidak ada bukti yang menguatkan tudingan tersebut," ujarnya. Apalagi menyangkut dugaan penyalahgunaan kewenangan, sebab pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko S Tjandra sudah mengacu kolegialitas pimpinan KPK.(jpnn)

Sumber: jpnn.com

Bibit dan Chandra Mengaku Tetap akan Kooperatif


Senin, 12 Oktober 2009 , 21:41:00

JAKARTA- Meski tetap menilai tak jelas arah pemeriksaannya, Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah memastikan akan tetap memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Mabes Polri. Termasuk juga mendatangi Bareskrim untuk melapor diri, selepas dinyatakan sebagai tersangka atas kasus penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. "Kamis nanti juga kita akan penuhi wajib lapor," kata pengacara Bibit-Chandra, Ahmad Rifai, Senin (12/10).


Ahmad Rifai tetap mempertanyakan langkah penyidik yang kerap berjanji akan memeriksa Bibit-Chandra, tapi saat pelaksanaannya, rencana itu digagalkan tanpa alasan jelas. Tindakan seperti ini, lanjut dia, diulangi saat kedua kliennya dipanggil Senin hari ini. Diakui, dia juga tengah menelusuri kebenaran informasi bahwa sebelum menetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka, Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD), sempat memaparkan kasusnya ke Presiden SBY.


Paparan tersebut berisi kronologi dan pengakuan (testimoni) Anggoro Widjojo dan Ary Mulady bahwa ada beberapa petinggi KPK menerima suap senilai Rp 5,15 miliar. Uang tersebut dikeluarkan dengan tujuan menghentikan penyidikan kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan, yang diduga dilakukan Anggoro, selaku Direktur PT Masaro Radiokom. Yang jadi masalah, lanjut Ahmad Rifai, kenapa Presiden percaya begitu saja terhadap testimoni tertanggal 17 Juli 2009 itu.


Selayaknya, hal itu dikonfirmasi juga ke KPK sebagai pihak yang diadukan. KPK sendiri tak bisa proaktif, sebab jika mendatangi Presiden bisa disalahartikan tak independen. "Kami curiga ada motif dibuatnya kronologi. Mungkin terkait orang yang tengah dibidik KPK," ucapnya. Satu hal penting, selaku tersangka suap, Ary Mulady terus membantah kebenaran kronologi tersebut. Ary menyebutkan, uang suap milik Anggoro itu diberikan ke seorang pengusaha bernama Anto, yang mengaku dekat dengan petinggi KPK.


Anto sendiri kini tak jelas keberadannya. Seperti diketahui, pada tahap awal penyidikan, Bibit dan Chandra disangkakan pasal penyuapan, kemudian berubah jadi penyalahgunaan wewenang karena mencabut cekal terhadap Anggoro dan obligor BLBI Joko Tjandra. Sangkaan tersebut kini kembali berganti menjadi penyuapan. (pra)


Sumber: jpnn.com
Foto: kpk.go.id

KPK Minta Kompolnas Desak SBY Bentuk Tim Independen


INILAH.COM, Jakarta - Kuasa hukum KPK kembali mendatangi Kompolnas. Kali ini, KPK meminta agar Kompolnas mendesak SBY membentuk tim independen mengusut penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Kabareskrim Polri Susno Duadji dalam penetapan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka.

"Kami meminta Kompolnas merekomendasi ke presiden untuk membuat tim independen," ujar tim pengacara KPK, Bambang Widjojanto di Gedung Kompolnas, Jakarta, Senin (12/10).

Menurut Bambang, pihaknya telah mengkritisi surat Irwasum karena ada beberapa poin yang masih mengandung masalah. Pertama, Irwasum melakukan pemeriksaan tanpa melibatklan orang yang melaporkan dalam hal ini kuasa hukum dari Chandara dan Bibit.

"Kedua, pemeriksaan yang dilakukan hanya satu pihak, padahal ada cukup banyak info di luar bareskrim yang bisa dijadikan bahan. Ketiga tidak melibatkan unsur-unsur yang di update dan potensi informasi yang tidak komprehensif. Contohnya surat tentang pertemuan Singapura yang dilakukan Kabareskrim terhadap Anggoro yang padahal saat itu Anggoro sudah menjadi DPO, harusnya ini bisa menjadi bagian," ungkapnya.

Dari berbagai hal itu, sambungnya, ada proses yang tidak sesuai dengan asas keseimbangan hukum. Kalau pemeriksaan dilakukan tanmpa asas tersebut, maka hasilnya pasti akan cacat. [mut]


Sumber: Inilah.com

Foto: kpk.go.id

Pengacara KPK Minta Susno Diusut Tim Independent

Senin, 12 Oktober 2009 , 15:29:00

JAKARTA- Pengacara Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah tengah menyiapkan 7 nama anggota independen, untuk meneliti dugaan adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji. Rencananya, nama ketujuhnya akan diajukan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu (14/10).

Hal ini dikemukan Ahmad Rifai, salah satu anggota tim kuasa hukum Bibit-Chandra, saat bertemu wartawan di gedung KPK, Senin (12/10). Dijelaskan, tokoh yang akan diajukan ke Presiden diantaranya Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqqie, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif."

Kita juga sedang menjajaki kesedian seorang guru besar hukum pidana dari Universitas Diponegoro," ucap Ahmad Rifai, tanpa mau menyebut tokoh dimaksud. Adapun pembicaraan dengan Syafi'i Ma'rif akan dilakukan Senin malam ini. Ahmad Rifai memastikan, pengajuan 7 nama anggota tim independen tersebut sudah mendapat iZin dari SBY. "Kalau belum dapat lampu hijau dari istana, mana mungkin kita berani," katanya.

Tim independen bentukan pengacara Bibit-Chandra merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap hasil pemeriksaan Irwasum terhadap Susno, pekan lalu. Seperti diketahui, Irwasum menyimpulkan tak ada penyalahgunaan wewenang oleh Susno dalam penyidikan kasus suap maupun penyalahgunaan wewenang dalam pencabutan cekal terhadap Anggoro Widjojo maupun Joko Tjandra yang dilakukan Bibit dan Chandra. (pra)

Sumber: jpnn.com

KPK


Senin, 05 Oktober 2009

Semua bermula di Hong Kong, kurang-lebih. Seorang teman yang telah menonton film baru sutradara Wong Jing mengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009) menunjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan korupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.

Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini menceritakan pergulatan beberapa petugas Independent Commission Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwira polisi Hong Kong yang korup. Wong Jin berusaha untuk tak norak, kata teman itu, tapi filmnya akhirnya hanya menyajikan sepotong kisah yang disederhanakan.

Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada 1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan dicontoh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan potongan-potongan cerita yang lurus.

ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang tak bisa menjelaskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening banknya. Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekan-rekannya. Dengan gigih, ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya kembali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan.

Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, merasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh anggotanya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi. Akhirnya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu disebut "Governor") memutuskan untuk memberikan amnesti kepada hampir semua anggota polisi yang korup yang melakukan kejahatannya sebelum 1977. Wibawa ICAC pun merosot.

Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah. Sejak amnesti itu polisi Hong Kong memperbaiki diri. Bahkan HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya oleh ICAC pada 2008. Dari sini tampak, kekuasaan—apa pun asal-usulnya—tak pernah berada di sebuah ruang politik yang konstan.

Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak dengan sendirinya lepas dari gugatan hukum. Wewenangnya untuk menyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui peradilan. April 2005, seorang hakim pengadilan distrik tak mau menganggap rekaman yang dihasilkan ICAC sebagai barang bukti. Alasan: tak ada prosedur yang legal yang mengatur penyadapan itu. Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim pengadilan distrik menganggap ICAC telah melanggar "secara terang-terangan" hak empat terdakwa, dengan memberikan tugas kepada seorang bekas tertuduh merekam percakapan mereka.

ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya adalah tanda keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya polisi, jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas mereka, seandainya mereka membangun sebuah situasi yang disebut "normal".

Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana di Indonesia sampai sekarang, korupsi menyakiti tubuh masyarakat di tiap sudut. Ada korupsi model Godber, yang mempergunakan kekuasaannya yang tinggi; ada yang dilakukan pemadam kebakaran yang memungut uang sebelum bertugas mematikan api; ada pula para pelayan rumah sakit yang di tiap sudut, dari ruang ke ruang, meminta uang.

Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghancurkan "modal sosial"—sebuah sikap masyarakat yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Korupsi menyebabkan kepercayaan itu rusak. Ejekan yang memelesetkan singkatan ICAC (jadi "I can accept cash", atau "I corrupt all cops") adalah indikasi hancurnya "modal sosial". Negeri telah jadi sederet labirin yang membusuk.

Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga sebuah perkecualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang KPK bahkan lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong Kong komisi itu tak punya wewenang menuntut. Di sini, KPK mempunyainya.

KPK juga tak hanya harus bebas penuh dari dikte kekuasaan mana pun. Di Hong Kong, ICAC bekerja secara independen namun bertanggung jawab kepada "Chief Executive", yang dulu disebut "Governor". Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden.

Keluarbiasaan itu mungkin kini tak hendak dibicarakan. Tapi mungkin tak bisa dilupakan: keadaan yang melahirkan kekuasaan sebesar itu ibarat (untuk memakai kata-kata Agamben) "daerah tak bertuan antara hukum publik dan fakta politik". Dengan kata lain, kekuasaan itu lahir dari kehendak subyektif yang menegaskan kedaulatan.

Tapi pada akhirnya kedaulatan itu bertopang pada legitimasi yang contingent. Tak ada dasar yang a priori yang membuat kedaulatan itu, dan para pemegang kekuasaan istimewa itu, datang begitu saja.

Dengan kata lain, di "daerah tak bertuan", kekuasaan justru semakin perlu pembenaran. Apalagi kekuasaan yang diperoleh ICAC dan KPK bersifat derivatif: bukan datang dari pilihan rakyat—sumber mandat sebuah demokrasi—melainkan dari badan-badan yang dipilih rakyat. Ia terus-menerus butuh pihak di luar dirinya. Ia butuh sekutu, dengan segala risikonya. Bahwa tugas ICAC maupun KPK merupakan tugas luhur yang mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti politik ("the political") berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi terhadap dirinya.

Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengketa bahkan bisa lebih panjang ketimbang sebuah cerita film Hong Kong. Adegannya mungkin kurang brutal dan dramatis, tapi akan ada korban manusia yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di "daerah tak bertuan", perjuangan melawan korupsi adalah perebutan tiap jengkal ruang strategis yang tersedia. Tiap benteng harus dikuasai, bukan dikosongkan. Tiap langkah adalah kesetiaan, dengan kegemasan, tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang 100 tahun.

Goenawan Mohamad

Teks dan foto: Tempo Interaktif

Susno Lolos Sanksi, Polri Gagal Mereformasi Diri

Kamis, 8 Oktober 2009


JAKARTA- Kepala Bagian Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji dinyatakan tidak terbukti melanggar ketentuan kode etik profesi, disiplin maupun pidana, pada proses penerbitan surat rekomendasi (keterangan), dalam kasus Bank Century.


Hal tersebut disampaikan Ispektur Pengawasan Umum (Irwasum ) Polri, Komisaris Jenderal Jusuf Manggabarani di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan kemarin (Rabu, 7/10). Menurut Jusuf, keterangan resmi ini ditetapkan berdasarkan hasil penyelidikan dan pengumpulan informasi serta keterangan dari pihak yang terkait, termasuk Susno Duadji. Dari hasil penyelidikan tersebut, sambung Jusuf, tidak ditemukan indikasi atau dugaan melakukan intervensi dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya selaku Kabareskrim Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum melakukan penyidikan. Karena KPK sendiri dinilai tidak memiliki bukti-bukti yang kuat untuk menjadikan Susno sebagai tersangka. "Oleh karena itu, sangatlah tidak logis apabila Polri menonaktifkan Komjen Susno Duadji dari jabatan Kabareskrim Polri," ujarnya.


Jusuf menjelaskan, penyelidikan dugaan penyalahgunaan wewenang, suap dan pemerasan oleh Susno Duadji ini berawal dari surat pengaduan masyarakat yaitu kuasa hukum dua orang Wakil Ketua KPK non aktif, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, serta sebuah LSM.
LSM yang dimaksud adalah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melalui ketuanya Boyamin Saiman, yang melapor pada 11 September 2009 tentang dugaan pelanggaran kode etik profesi. Dan dua orang kuasa hukum KPK, masing-masing Ahmad Rivai yang melayangkan surat tentang dugaan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan oleh Kabareskrim Komjen Susno Duadji, pada 28 September 2009.

MAKI, tambah Jusuf, melaporkan Susno Duadji kepada Kepala Divisi Propam Polri, bernomor 29/MAKI/ix/2009 menyatakan, bahwa dua buah surat rekomendasi yang dikeluarkan Kabareskrim dalam menangani kasus Bank Century, bukanlah tugas kepolisian. Sementara laporan tim pembela KPK terhadap Susno ditujukan kepada Kapolri, dan diterima Irwasum dan Kadiv Propam, yang berisi tentang penyalahgunaan wewenang berupa penggunaan fasilitas negara utnuk kepentingan pribadi, mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah atau memaksa penyidik terkait dengan testimony Antasari Azhar, untuk penetapan tersangka Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, tidak memberikan turunan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) untuk kepentingan pembelaan walaupun telah diminta oleh tersangka atau kuasa hukumnya. Selain itu, pernyataan "cicak kok melawan buaya" merupakan gambaran bahwa Polri adalah buaya yang bisa menghalalkan segala macam cara untuk memangsa buruannya, tanpa mengindahkan nilai-nilai kesusilaan.

"Atas pelanggaran tersebut, mereka meminta penonaktifan Komjen Susno Duadji dan segera digelar sidang, baik sidang disiplin maupun kode etik profesi untuk Kabareskrim Polri," kata Jusuf membacakan petikan laporan pengacara KPK.

Dalam paparannya, Irwasum mengurai kekisruhan dengan merunut kronologis kasus yang dimulai dari penyidikan kasus Bank Century atas laporan Bank Indonesia tertanggal 25 November 2008 yang ditangani Direktorat II Ekonomi Khusus, Bareskrim Polri. Penyidikan tersebut diwarnai peristiwa penolakan pencairan uang sebesar 18 juta dolar AS, milik Budi Sampoerna yang sudah diinvestasikan di Bank Century. Karena ditolak, bos PT Lancar Sampoerna Bestari ini mengirim surat kepada Kabareskrim Polri, Komjen Susno Duadji.

Susno pun mempertemukan Budi Sampoerna denagn Bank Century untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dalam pertemuan itu, Direksi Bank Century menjelaskan bahwa kasus Bank Century sedang ditangani Polri. Oleh karena itu, Bank Century memerlukan klarifikasi dari Bareskrim Polri, bila Budi Sampoerna mau mencairkan uangnya.

Direksi Bank Century itu mempertanyakan, apakah dana milik Budi Sampoerna termasuk dalam lingkup kasus yang melibatkan Robert Tantular atau tidak. Dengan kata lain, Bank Century meminta surat klarifikasi dari Bareskrim Polri yang menyatakan bahwa uang yang ditarik tidak terkait dengan proses penyidikan.

Permintaan Bank Century pun dikabulkan Kabareskrim, dengan membuat dua buah surat, yang pertama nomor R/217/IV/2009/Bareskrim tertanggal 7 April 2009, dan surat kedua dikeluarkan 17 April 2009 bernomor R/240/IV/2009/Bareskrim, yang menyatakan bahwa uang sebanyak 18 juta dolar AS itu sudah tidak ada permasalahan lagi. Surat kedua itu muncul, karena setelah dikirim surat keterangan atau rekomendasi Kabareskrim tersebut, pihak Direksi Bank Century kembali bertanya kepada Kabareskrim, tentang jumlah dana milik Budi Sampoerna yang dinyatakan sudah tidak ada masalah lagi. Surat kedua itu berisi penjelasan bahwa dana deposito sebesar 18 juta dolar AS milik PT Lancar Sampoerna Bestari, saat ini sudah tidak ada permasalahan lagi.

"Oleh karena itu, permasalahan yang berkembang di masyarakat tentang adanya dugaan suap dalam penerbitan surat keterangan atau rekomendasi Kabareskrim tidak terbukti," tegas Jusuf. Irwasum juga menjawab usulan penonaktifan Komjen Susno Duadji dari jabatan Kabareskrim, yang dilontarkan pengacara dua pimpinan non aktif KPK dengan hasil penyelidikan tersebut.

Menurut Jusuf, dari hasil penyelidikan tidak ditemukan bukti yang menunjukkan adanya intervensi dan penyalahgunaan wewenang serta dugaan suap, baik dalam proses penyidikan terhadap Bibit S Rianto maupun Chandra M Hamzah. Mengenai pelanggaran disiplin dan penyalahgunaan wewenang, Irwasum menjabarkan bahwa penetapan status saksi dan tersangka dilakukan setelah dilaksanakan koordinasi atau gelar kasus secara internal antara Direktur III Tipikor Bareskrim Polri, Kepala Unit dan tim penyidik serta terkait, serta keterangan ahli dari Ilmu Hukum Pasca Sarjana UI, Prof. DR. Indrianto Senoadji.

Setiap koordinasi atau gelar perkara internal oleh penyidik, tambah Jusuf, dilaporkan Komjen Susno kepada Kapolri dalam bentuk paparan yang dihadiri Wakapolri, Kabareskrim, Kadiv Binkum, Dir III Bareskrim dan penyidik dengan kesimpulan bahwa kasusnya ditingkatkan ke penyidikan, dan ditetapkan bahwa tersangkanya Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Dari gambaran proses penyidikan tersebut, baik penetapan para saksi maupun tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang oleh beberapa pimpinan KPK sepenuhnya diputuskan atau ditetapkan oleh penyidik.

"Jadi, tanpa intervensi (campur tangan) Komjen Susno Duadji sebagai Kabareskrim Polri," tegasnya.

Meski penyelidikan yang digelar untuk menjawab laporan atau pengaduan MAKI dan pengacara KPK terhadap Susno ini dinyatakan selesai, namun Jusuf berjanji akan kembali mengelar penyelidikan, jika ada pihak-pihak yang masih ingin melaporkan atau mengajukan pengaduan. "Saya ini kan membantu Kapolri dalam melayani masyarakat. Kalau memang ada yang melapor lagi ya kita layani. Tapi ya saya minta penjelasan dulu dong dari melaporkan," tandasnya.

Polri Belum Mereformasi Diri

Keputusan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri bahwa Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Susno Duadji, terbukti tidak bersalah, mendapat tanggapan keras dari Tim Pengacara KPK. Koordinator Tim Pengacara KPK Bambang Widjojanto menyatakan kekecewaan.

Menurut Bambang, keputusan Irwasum yang disampaikan oleh Komjen Jusuf Manggabarani di Mabes Polri, Jakarta, yang intinya "membenarkan" langkah Susno tersebut membuktikan bahwa Polri belum mereformasi dirinya. "Padahal ketika Itwasum Mabes Polri memeriksa Susno, itu menjadi moment penting untuk membuktikan bahwa Polri sudah melakukan reformasi. Ternyata, tidak sama sekali," ungkapnya.

Keputusan tidak bersalah serta pernyataan bahwa KPK tidak punya bukti kuat atas pelanggaran yang dilakukan Susno, menjadi salah satu alasan bahwa Polri belum reformis. "Bagaimana mungkin keputusan keluar, sementara saksi (yang melaporkan, red) belum dipanggil untuk memberikan kesaksian dan bukti-bukti. Kok tiba-tiba dikatakan tidak punya bukti," kata Bambang.

Seharusnya, lanjut Bambang, pemeriksaan melibatkan saksi atau pelapor untuk mendapatkan keterangan dan bukti-bukti yang yang dibutuhkan. "Ini kan tidak. Kami tidak dipanggil untuk memberikan itu. Hukum itu ada aturannya. Saksi atau pelapor mutlak harus dipanggil untuk memberikan kesaksian dan menunjukan bukti-bukti," tegasnya.

Bambang menambahkan, pemeriksaan atas Susno Duadji yang dilakukan Irwasum tak lebih dari sebuah formalitas belaka. Terlebih pemeriksaan itu dilakukan secara tidak transparan. Tim Pengacara KPK, lanjut Bambang, akan melakukan langkah hukum lain atas putusan tersebut. Namun, Bambang belum menyatakan langkah apa yang akan dilakukannya nanti. "Kita tunggu dan pelajari dulu. Langkah berikutnya pasti ada," pungkasnya.

Sementara itu, pengacara KPK lainnya, Achmad Rifai, meminta agar dibentuk tim independen untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap Susno. "Kalau memang betul Pak Susno tidak terbukti bersalah, perlu dibentuk tim independen," kata Achmad Rifai, kepada wartawan, kemarin.

Susno, kata Rifai, jelas-jelas menemui buron KPK, Anggoro Widjojo di Singapura. Anggoro ditetapkan sebagai buron per 7 Juli, sedang Susno menemui Anggoro tiga hari setelahnya yaitu pada tanggal 10 Juli.

"Dari situ saja, sudah jelas bahwa Susno melakukan kesalahan. Pimpinan KPK pernah mengirimkan surat ke Bareskrim dan Kapolda, bahwa jika hendak menemukan DPO (Daftar Pencarian Orang, Red) harus melaporkan kepada KPK. Dan Susno bertemu Anggoro tidak lapor lebih dulu ke KPK. Itu sudah sangat jelas," tegasnya.

Rifai menambahkan, dari awal pihaknya meminta agar proses pemeriksaan Susno dilakukan secara transparan, agar kejadian seperti ini tidak terjadi. "Perlu dilakukan secara terbuka dan tidak tertutup. Agar pemeriksaan berjalan bersih dan tidak ada dusta," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Junto, ketika dikonfirmasi menyatakan tidak kaget dengan keputusan Irwasum tersebut. "Dari awal kami sudah menduga bahwa Polri pasti akan membela anggotanya dalam hal ini Susno Djuadji. Jadi keputusan Irwasum bahwa Susno tidak bersalah, bukan hal sesuatu mengagetkan bagi kami," kata Emerson dibalik gagang telepon, kemarin. Sama seperti Bambang, Emerson juga menilai bahwa selama pemeriksaan terhadap Susno dilakukan secara tertutup, maka selama itu pula pemeriksaan hanya sebuah formalitas belaka. (atm/fan/jpnn)

Sumber: Radar Tarakan

Double standards of Indonesian police

By Answer C. Styannes

Jakarta, Indonesia — Two vice chairmen of Indonesia’s Corruption Eradication Commission are under police investigation for alleged abuse of authority. Yet lawyers and activists have widely criticized the investigation of Chandra M. Hamzah and Bibit Samad Riyanto, suggesting the two are being persecuted because the police hope to weaken the commission and undermine its effective anti-corruption efforts.

Rivalry between the two law enforcement institutions surfaced in July 2009, when the commission began investigating the national police’s chief detective, Commissioner General Susno Duaji, for allegedly using his power to force Bank Century to return a large amount of deposited funds to their owner unlawfully. In return, it is alleged, Duaji received 10 billion rupiah (US$1.06 million).

The commission’s investigation of Duaji is widely believed to have triggered the police investigation into the alleged abuse of power by the two commissioners. This view is strengthened by the fact that the police charge was inconsistent and apparently fabricated – the police first said that the commissioners were involved in bribery but later said it was abuse of power.

This lack of professionalism is not new among Indonesia’s police. In this case the police reprisal against the anti-corruption commission was on the national level, but such behavior also prevails at the grassroots level.

For example, a case came to light recently in which an underage girl was raped by a 40-year-old man. Her family filed a complaint with the Jakarta police, but no proper inquiry was conducted. Worse, after her family found the perpetrator and brought him to the police station, instead of detaining him the police released him, citing lack of evidence.

In cases such as torture and other police abuses, victims are often reluctant to complain to the police because they are asked to provide witnesses and other evidence. As police torture and abuses take place in a closed setting, it is hard to fulfill such requirements.

The only witnesses in a torture case are the police officers themselves. It would be rare for an officer to testify against his colleagues and support the victim’s complaint.

The police are guilty of negligence in some cases, and abuse of power in others, as is evident from the different handling of the cases involving the commissioners and the young rape victim. While the police acted swiftly to investigate the commissioners, they neglected their duty concerning the young girl.

These are common problems reflecting the lack of professionalism within Indonesia’s police force. The police often fail in their duty. When they are supposed to respond quickly, they are often overly cautious. And when conditions require that they react with care, rash measures are taken.

Professionalism in the police force is important, as it is closely related to human rights enforcement. It is a police obligation to protect human rights. An unprofessional police force can impede people’s access to justice, as it is the only institution with the authority to handle almost all criminal cases.

Furthermore, instead of implementing their slogan "to serve and protect," Indonesia’s police have caused distrust in people about law enforcement. As a famous cynical saying goes, "Complaining to the police about your lost chicken will only cause you to lose your goat." This describes the state of policing in Indonesia.

Distrust toward the police can lead to social unrest if people start taking the law into their own hands, as was seen recently in Pelalawan, Pekanbaru when angry residents attacked a red light district, smashing property and setting fire to buildings.

If the police could so hastily launch an investigation into the two commissioners who threatened them, they should be able to quickly launch their own internal reforms, as misconduct within the force in the long term is a much bigger threat to the cause of law enforcement they are pledged to protect.
--
(Answer C. Styannes is a research associate at the Community Legal Aid Institute in Jakarta, Indonesia. She is currently studying in the Faculty of Law at the University of Indonesia, majoring in constitutional law. Her work focuses on issues of constitutional law, judicial and legislative reforms, labor laws, and civil and political rights).


Sumber: UPI Asia.com

Membela KPK, membela Indonesia

Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menghadapi serangan hebat dari koruptor dan buaya-buaya pelindung koruptor di lembaga penegak hukum lain. Dua Pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah telah dijadikan tersangka oleh kepolisian atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Tuduhan polisi terhadap kedua pimpinan KPK tersebut sangat diada-adakan dan tidak pada tempatnya.

Banyak pihak meyakini tindakan kriminalisasi wewenang KPK oleh Polisi merupakan bagian dari skenario besar koruptor untuk melemahkan KPK. Keyakinan tersebut diperkuat oleh banyaknya indikasi adanya rekayasa mulai dari penetapan kedua pimpinan KPK sebagai tersangka yang sangat dipaksakan, penonaktifan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai pimpinan KPK, penerbitan Perppu No. 4 Tahun 2009 yang kontroversial, hingga penetapan tiga orang Plt. Pimpinan KPK yang kualitasnya jauh dari harapan publik.

Mari kita sama-sama mengawasi proses hukum terhadap kedua pimpinan KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah agar berjalan sesuai prosedur hukum yang semestinya. Mari kita beri dukungan kepada perjuangan KPK melawan para buaya koruptor yang melakukan serangan balik dengan sangat ganas dan buas. Mari kita lawan upaya mengkriminalisasikan wewenang KPK dan pelemahan KPK oleh penegak hukum yang sudah terjangkit virus korupsi.

Selamatkan KPK, Selamatkan Indonesia!

Tenggat Waktu Habis, Bibit dan Chandra Harus Dibebaskan


Rabu, 07 Oktober 2009 20:42 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Tim pembela KPK Alexander Lay meminta agar penyidikan kasus penyalahgunaan wewenang yang dituduhkan kepada dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, harus segera dihentikan. Ia menagih janji Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan akan menuntaskan kasus tersebut dalam waktu satu minggu. "Janjinya Kapolri harus ditepati," kata Alex saat dihubungi, Rabu (07/10).

Kapolri menyatakan hal itu pada 28 September lalu saat dipanggil Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Istana wapres. Hingga hari ini berarti tenggat waktu tersebut telah terlewati. Ia juga menyesalkan penyidikan kasus penyalahgunaan wewenang tersebut yang begitu lama. "(Kasus) Susno bisa sedemikian cepat kenapa kasus Chandra dan Bibit bisa begitu lama," katanya.

Lebih lanjut, Alex mendesak jika memang tida ditemukan bukti dalam kasus tersebut maka Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) harus segera dikeluarkan. Menurutnya, tidak ada pasal legal formal yang dituduhkan ke Bibit dan Chandra mengenai penyuapan.

"Itu hanya rumor dan gosip, tidak ada itu penyuapan secara legal formal," katanya. Ia menduga hal itu sengaja dihembuskan untuk membunuh karakter dua pimpinan KPK tersebut.

Kemudian, Alex juga meragukan independensi Inspektorat Pengawas Umum POLRI dalam menyidik dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Kabareskrim Susno Duadji.

"Prosesnya sangat cepat, sangat terburu-buru. Kami menilai perlu keterlibatan pihak yang lebih independen," kata Alex.

Menurutnya, kesimpulan atas kasus tersebut hanya diperoleh sehari setelah laporan mereka disampaikan ke Irwasum. Hingga saat ini, pengacara KPK belum menerima laporan resmi hasil investigasi Irwasum. Pengacara KPK, kata dia, ingin mengetahui secara komprehensif mengapa argumen-argumen mereka yang menyatakan bahwa Susno menyalahgunakan wewenang ditolak.

Susno Duadji dinilai menyalahgunakan wewenang dalam penyidikan yang menetapkan dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menjadi tersangka. Keduanya, dijadikan tersangka juga atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penyidikan kasus korupsi PT Masaro Radiokom.GUNANTO E S

Sumber: Tempo Interaktif
Foto: Hukumonline

KPK: AWAL YANG KURANG BAGUS


(Disalin dari catatan Trimoleja D. Soerjadi dengan judul yang sama di facebook tertanggal Rabu 7 Oktober, pukul 13.41)

Kemarin Presiden SBY telah mengambil sumpah & melantik tiga orang Plt Pimpinan KPK untuk mengganti kekosongan pimpinan KPK yang terjadi karena Ketuanya dan dua Wakil Ketuanya, yakni Antasari Azhar, Chandra M Hamzah & Bibit Samad Riyanto telah dijadikan tersangka oleh Mabes Polri, sehingga sesuai ketentuan mereka telah diberhentikan sementara oleh Presiden. Ketiga orang Plt Pimpinan KPK tersebut adalah Tumpak H Panggabean, Waluyo & Mas Ahkmad Santosa.

Penunjukan tiga orang Plt pimpinan KPK tersebut didasarkan atas terbitnya Perppu no. 4/2009 yang kontroversial. Memang menerbitkan Perppu merupakan prerogatif Presiden, tetapi hal itu menjadi kontroversial ketika SBY menerbitkan Perppu tersebut dengan melanggar UU karena pasal 33(1) UU KPK menentukan bahwa dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon pengganti kepada DPR. Ketentuan inilah yang dilanggar SBY. Dengan menerbitkan Perppu tadi Presiden pada dasarnya telah memberikan kewenangan kepada dirinya sendiri untuk menunjuk & mengisi lowongan tadi. Ini tentu sangat berbahaya karena dengan cara itu SBY bisa mengintervensi & melemahkan kemandirian KPK yang dijamin pasal 3 UU KPK.dengan cara menunjuk orang-orang pilihannya sendiri sebagai Plt pimpinan Pimpinan sementara KPK.

Hal lain yang menjadi sumber kontroversi adalah alasan diterbitkannya Perppu. Meskipun Presiden wenang dalam keadaan genting yang mendesak menerbitkan Perppu, persoalannya adalah apakah benar adanya kekosongan pimpinan KPK dapat dikualifikasikan sebagai keadaan genting yang mendesak. Kenyataan bahwa tim 5 yang dibentuk diberi waktu satu minggu untuk merekomendasikan 3 nama calon pengganti pimpinan KPK kepada SBY, menafikan adanya keadaan genting yang mendesak. Setelah itu ketika SBY kembali dari lawatannya keluar negeri, ia tidak segera melantik ketiga orang tersebut karena SBY langsung ke Padang meninjau musibah gempa bumi hebat yang menimpa saudara saudara kita di Sumatera Barat. Artinya hampir dua minggu setelah Perppu diterbitkan, lowongan pimpinan KPK baru diisi. Lalu di mana keadaan genting yang memaksa yang dijadikan justifikasi menerbitkan Perppu tersebut ?

Karena reaksi keras publik, SBY kemudian menerbitkan Keppres menunjuk & membentuk tim terdiri atas 5 orang yakni Widodo AS (Menko Polhukam), Andi Mattalatta (Menkum & HAM), Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis & Taufikkurrahman Ruki. Tim inilah yang diserahi tugas untuk menyeleksi & merekomendasikan kepada Presiden nama tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK. Dan tiga orang yang direkomendasikan tim 5 tersebut di atas yang akhirnya dilantik SBY. Jadi SBY akhirnya urung menunjuk langsung sendiri tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK.

Apakah ini pertanda baik bahwa Pimpinan KPK yang sekarang sudah lengkap 5 orang akan mandiri dan bisa tegas tanpa tebang pilih memberantas korupsi ?. Belum tentu. Batu ujian yang akan menjadi tolok ukur apakah KPK serius & mampu memberantas korupsi, antara lain adalah bila bisa menuntaskan sampai ke Pengadilan Tipikor dan dijatuhinya pidana semua orang yang terlibat dalam skandal yang diungkap Agus Condro, dan skandal Bank Century. Dua kasus ini menjadi sorotan luas publik. Kasus Agus Condro sudah terang benderang sehubungan dengan aliran dana yang diungkap olehnya telah diterima sejumlah anggota DPR sewaktu pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda Gultom karena didukung hasil investigasi PPATK. Tetapi mengapa kasus ini sekian tahun macet tidak jelas juntrungnya ? Skandal Bank Century adalah batu ujian lainnya. Kasus ini kasus besar & berat karena diduga kuat adanya keterlibatan buaya di situ.

Ada masalah kontroversial lain dalam penunjukan tiga oarang Plt pimpinan KPK yang baru dilantik SBY. Pasal 29 hruf e UU KPK menentukan bahwa untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK setinggi-tingginya berusi 65 tahun. Tumpak H Panggabean (THP) yang lahir tahun 1943 telah melampaui usia itu. Mengapa meskipun demikian ia tetap diangkat ? Pengangkatannya jelas-jelas melanggar UU. Mengapa ia bisa lolos ? Menurut yang diberitakan majalah TEMPO, hal itu dikarenakan Menkum & HAM Andi Mattalatta ngotot minta agar yang bersangkutan tetap direkomendasikan kepada SBY meski ia tahu THP tidak memenuhi syarat ditinjau dari sisi usia. Ada apa di balik kengototan ini ? Ini sungguh tragis & ironis sekali. Seorang Menteri HUKUM & HAM yang seharusnya bisa menjadikan dirinya contoh & panutan bagi segenap lapisan masyarakat bagaimana siapapun juga harus taat hukum, justru entah untuk kepentingan apa dengan sadar & sengaja justru telah memberi contoh buruk melanggar undang undang. Mudah mudahan THP bukan kuda Troya yang dikhawatirkan Teten Masduki sengaja disusupkan Pemerintah untuk lebih lanjut mengobrak abrik & membusukkan KPK.

Singkat kata : (1) Terbitnya Perppu yang kontroversial, (2) Penunjukan 3 orang Plt pimpinan KPK oleh SBY yang melanggar pasal 33(1) UU KPK & (3) Penunjukan THP sebagai Plt pimpinan KPK yang melanggar pasal 29 huruf e UU KPK, jelas merupakan awal yang kurang bagus bagi KPK yang sekarang dipimpin oleh THP sebagai Plt Ketua KPK. Hanya kinerja KPK ke depan yang lebih bagus dan spektakuler dibandingkan dari sebelumnya, yang akan bisa membuktikan dan meyakinkan rakyat bahwa THP bukan kuda Troya. Semoga.
Naskah & foto: facebook Trimoelja D Soerjadi

Terpilihnya Tumpak Cs Bisa Lemahkan Penindakan KPK

Rabu, 7 Oktober 2009 - 13:16 wib
Lusi Catur Mahgriefie - Okezone

JAKARTA - Kuasa hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah menilai ada unsur melemahkan bidang penindakan KPK, di balik peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pelaksana tugas (plt) pimpinan sementara Komisi itu.

Demikian disampaikan salah satu kuasa hukum Bibit dan Chandra, Bambang Widjojanto saat dihubungi okezone, Rabu (7/10/2009).

"Tiga orang diberhentikan yaitu Antasari, Bibit, dan Chandra, sementara ketiganya yang punya background dari penindakan," ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, berdasarkan Perppu itu terpilih tiga orang pimpinan KPK sementara. Tapi hanya satu yang memiliki background penindakan.

"Hasil Tim Lima, yang punya background penindakan hanya Tumpak (Hatorangan Panggabean). Artinya jangan-jangan ada tujuan untuk melemahkan penindakan di KPK," tandas dia.

Sejak awal, Bambang beserta kelompok advokat dan rekan-rekan LSM bidang hukum tidak menyetujui adanya Perppu Plt KPK. Begitu pula Bibit dan Chandra.

Mereka mempertanyakan penafsiran Pasal 21 ayat (5) UU KPK tentang pimpinan kolektif di KPK. Dalam ayat itu hanya disebutkan bahwa pemimpin KPK bekerja secara kolektif tanpa menyebutkan jumlah anggota pimpinannya.

Hal tersebut di atas hanya satu di antara tiga alasan mereka menentang Perppu Plt KPK. Penentangan ini bahkan akan mereka sampaikan ke Mahkamah Konstitusi.

"Sejak awal tidak setuju dan tiga alasan yang dipersoalkan. Pertama, terkesan ada kepentingan memaksa dan terlalu mengada-ada," ungkapnya.

Kedua, Perppu mengambil alih kewenangan DPR karena seperti diketahui yang harus memilih itu DPR bukan Presiden melalui Tim Lima.

Kemudian ketiga, terkait tiga plt pimpinan sementara KPK di mana hanya satu orang yang memiliki background penindakan yakni Tumpak. Sementara Waluyo dan Mas Achmad Santosa tidak.

Hingga kini, tambah Bambang, pihaknya masih mengkaji rencana untuk mendatangi MK. (lsi)

Sumber: Okezone

Buku: Jangan Bunuh KPK


Jangan Bunuh KPK
Item Specifics : Non-Fiksi
Author : Kumpulan Naskah Kompas ,
Category : Sosial, Politik, Budaya
Publisher : Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Indonesia
Pages : 324
ISBN : 979-709-442-3
Language : Bahasa Indonesia
Format : Softcover
Publication Year : 2009

Seorang petinggi negeri ini marah kepada KPK. Ia ingin kepemimpinan KPK berantakan dan menjadikan pimpinan komisi itu sebagai tersangka, bahkan masuk penjara. Rumor itu tampaknya mulai mewujud. Dua Wakil Ketua KPK,Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang. Inikah akhir cerita KPK di negeri ini?

Sepak terjang KPK selama ini membuat ciut nyali para koruptor. Satu persatu pelaku korupsi diadili dan dijatuhkan hukuman penjara. Tindakan KPK yang dianggap sebagai "Superbody" ini membuat gerah para koruptor lainnya. Sehingga mereka berusaha menyerang balik dan melakukan perlawanan terhadap usaha pemberantasan korupsi. Kewenangan KPK mulai dipersoalkan, mulai dari kewenangan penyadapan, supervisi penanganan korupsi, sampai perilaku pejabat KPK. Malangnya, kasus Antasari Azhar semakin mengeruhkan KPK, sehingga ada "gerakan" membunuh KPK. Adakah usaha mereka untuk melenyapkan KPK akan berhasil?

Teks dan gambar: Buku135

Pencekalan Bibit dan Chandra Berlebihan

Proses persetujuan surat pencekalan di Kejaksaan begitu cepat, langsung disetujui.

Dua pimpinan KPK non-aktif Bibit Samad Samad Rianto dan Chandra Hamzah resmi dicekal untuk jangka waktu setahun ke depan. Mereka tak bisa bepergian ke luar negeri. Pencegahan ke luar negeri itu disayangkan tim pengacara. Alexander Lay, pengacara Bibit dan Chandra menilai pencegahan itu berlebihan. Sebab, selama ini Bibit dan Chandra terus memenuhi panggilan Mabes Polri. Kewajiban melaporkan diri pada hari-hari tertentu juga dipenuhi.

Ditambahkan Alex, kedua kliennya tak berniat melarikan diri ke luar negeri atau menghilangkan barang bukti. Apalagi, sangkaan kepada Bibit dan Chandra adalah penyalahgunaan wewenang, bukan tindak pidana korupsi. Ironisnya, sangkaan penyalahgunaan terhadap keduanya terbit karena menetapkan status cegah kepada dua pengusaha, Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra. "Itu langkah yang berlebihan. Selama wajib lapor mereka selalu datang," ujarnya.

Alex juga menilai Mabes Polri juga tidak responsif terhadap keberatan yang dilayangkan tim penasihat hukum keduanya. Alex juga menyitir perkataan seorang petinggi lembaga negara bahwa proses penyidikan yang dilakukan terhadap kliennya tidak benar. Dengan begitu, Mabes telah menunjukan sikap arogan. "Justru tidak merespons itu, tidak melakukan review. Justru melakukan langkah cekal. Ini menunjukan arogansi," ujarnya. Alex malah meminta agar polisi menghentikan penyidikan kliennya.

Harapan Alex agar penyidikan perkara kliennya dihentikan dan surat cegah dicabut tampaknya sulit terwujud. Pasalnya, Jaksa Agung Hendarman Supandji memastikan bahwa surat cegah sudah dilayangkan ke Ditjen Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surat cegah itu dimintakan Mabes Polri.

Menurut Jaksa Agung, surat pencegahan itu diterima Kejaksaan pada Kamis pekan lalu. Hanya berselang beberapa saat, Jaksa Agung langsung meneruskan permintaan cegah itu kepada Jaksa Agung Muda Intelijen, Iskamto. Sehari kemudian, Iskamto, menandatangani, dan meminta agar surat segera dikirimkan ke Ditjen Imigrasi. Surat cegah tersebut, jelas Hendarman, sudah diteruskan ke Imigrasi sejak Jum’at (02/10) pekan lalu. "Cekalnya satu tahun," kata Hendarman.

Bersamaan dengan surat perintah cekal itu, Kejaksaan menerima pelimpahan berkas tahap pertama atas nama Chandra M Hamzah. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto, pasal yang disangkakan kepada Chandra adalah Pasal 23 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUH Pidana. Chandra juga dituduh melanggar Pasal 12 huruf e jo Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal itu, kata Didiek, tertera dalam berkas yang diterima Kejaksaan.

Hingga Jum’at siang pekan lalu, hanya berkas Chandra yang diterima Kejaksaan Agung. Berkas atas nama Bibit masih ada di Mabes Polri.

Setelah diterima oleh Kejaksaan Agung, sambung Didiek, merujuk kepada KUHAP berkas akan diteliti oleh tim jaksa peneliti (P16) di Jampidsus. "Dikoordinir oleh Kasubdit Tindak Pidana Korupsi Direktorat Penuntutan Jampidsus," ujarnya. Menurut Didiek, jika merujuk pada KUHAP jaksa mempunyai tenggang waktu satu minggu untuk menentukan sikap. "Kurang lebih nanti, tujuh hari pekan depan ada penentuan sikap," ujarnya. (Rfq)

Sumber: Hukumonline