Rencana penunjukkan Plt pimpinan KPK juga bisa dipandang sebagai isyarat Presiden kepada kepolisian untuk mempercepat penyidikan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit S. Rianto.
"Harus diralat mas. Tidak ada penunjukkan langsung Pelaksana tugas pimpinan KPK dalam draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kami siapkan. Perppu itu seperti Undang-undang yang mengatur umum, jadi tidak akan menunjuk seseorang," ujar Direktur Perancangan Perundang-undangan Depkumham Suharyono, kepada hukumonline melalui telepon Selasa (22/9).
Saat ini wacana pembuatan Perppu untuk mengisi ‘kekosongan’ pimpinan KPK memang santer beredar di media massa. Bahkan sudah ada menyebutkan Presiden SBY sudah meneken Perppu untuk menunjuk pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK. Namun Suharyono buru-buru menepisnya.
Sebagai orang yang merumuskan draf Perppu itu, Suharyono menjelaskan hanya ada satu pasal dalam draf itu. "Pasal dalam draf Perppu itu akan membahas mengenai perubahan Pasal 33 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK," kata Suhariyono. Namun ia mengaku lupa bagaimana detil rumusan pasal draf Perppu itu. "Saya lagi nggak megang drafnya. Kalau tidak salah yang mau diubah soal pansel (panitia seleksi) mas."
Pasal 33 UU KPK yang terdiri dari dua ayat itu sendiri merumuskan tentang kewenangan presiden untuk mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK. Prosedur pengajuan calon penggantinya pun harus merujuk pada Pasal 29, Pasal 30 dan pasal 31.
Sekedar informasi, Pasal 29 UU KPK mengatur tentang syarat-syarat pimpinan KPK. Sementara Pasal 30 merinci tentang tahapan seleksi pimpinan KPK yang diawali oleh Panitia Seleksi sampai proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Sedangkan Pasal 31 menegaskan transparansi proses rekrutmen calon pimpinan KPK.
Setujui kriminalisasi
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra menyayangkan sikap presiden yang terkesan sangat ngotot mengeluarkan Perppu untuk menunjuk Plt pimpinan KPK. "Penerbitan Perppu itu sama sekali tak berdasar," kata Saldi, Selasa (22/9).
Menurut Saldi, tak ada kekosongan pimpinan di KPK saat ini meskipun tiga pimpinan lainnya sudah non aktif karena ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan Saldi menilai pembentukkan Perppu itu dapat ditafsirkan sebagai ‘restu’ presiden kepada kepolisian agar segera mempercepat proses penyidikan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto untuk secepatnya ditetapkan menjadi terdakwa. "Semakin jelas terlihat ada skenario besar dalam melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia."
Lebih lanjut Saldi berani menyatakan tindakan presiden adalah sebuah pelanggaran hukum jika benar-benar menunjuk Plt pimpinan KPK. Sebab, sebagai salah satu lembaga independen, proses pengisian pimpinan kelembagaan KPK tak bisa dilakukan secara sepihak oleh Presiden. Makanya dalam rumusan UU KPK disebutkan secara tegas bahwa proses pengisian pimpinan lembaga itu juga harus melibatkan peran DPR.
Sekedar mengingatkan, keberadaan KPK tak jauh berbeda dengan Komnas HAM, Komisi Yudisial atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagai lembaga independen, proses pengisian jabatan pimpinan di semua lembaga itu melewati beberapa tahapan. Mulai dari seleksi oleh Pansel yang dibentuk pemerintah sampai proses fit&proper test oleh DPR.
Saldi mengaku khawatir jika presiden benar-benar merealisasikan niatnya menunjuk Plt pimpinan ini melalui Perppu. "Akan menjadi preseden buruk kedepannya. Nanti kalau di kemudian hari presiden merasa terganggu dengan kinerja lembaga independennya, dia bisa dengan seenak hati mengeluarkan Perppu dan kemudian mengganti pimpinannya dengan orangnya dia."
Harus Ditolak
Tak hanya Saldi yang khawatir dengan rencana penerbitan Perppu itu. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) juga melayangkan sikap serupa. "Sikap Presiden yang ditunjukkan melalui penerbitan Perppu ini adalah posisi yang dianggap menyetujui upaya kriminalisasi terhadap kewenangan KPK serta merupakan bagian dari rangkaian usaha pelemahan gerakan antikorupsi di Indonesia," demikian PSHK dan LeIP dalam rilisnya yang diterima hukumonline.
Apa jadinya jika presiden keukeuh menerbitkan Perppu? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menggantungkan harapan kepada DPR. Hal ini karena Pasal 25 Ayat (3) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa DPR dapat menolak Perppu untuk menjadi undang-undang.
Namun dengan konstelasi kursi di DPR ke depan, Saldi tak yakin DPR berani menolak Perppu ini. "Artinya kita tidak bisa berharap banyak pada DPR. Satu-satunya cara adalah menolak dan mendesak supaya presiden tak menerbitkan Perppu yang sesat ini."
Bagaimana dengan kemungkinan mengajukan judicial review Perppu ke MK? "Secara substansi Perppu memang sama dengan Undang-Undang yang bisa di-judicial review. Tapi secara formil masih harus dikaji terlebih dulu," pungkasnya. (IHW)
Sumber: hukumonline
0 komentar:
Posting Komentar