
Bibit dan Chandra Mengaku Tetap akan Kooperatif

Buku: Jangan Bunuh KPK

Seorang petinggi negeri ini marah kepada KPK. Ia ingin kepemimpinan KPK berantakan dan menjadikan pimpinan komisi itu sebagai tersangka, bahkan masuk penjara. Rumor itu tampaknya mulai mewujud. Dua Wakil Ketua KPK,Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang. Inikah akhir cerita KPK di negeri ini?
Sepak terjang KPK selama ini membuat ciut nyali para koruptor. Satu persatu pelaku korupsi diadili dan dijatuhkan hukuman penjara. Tindakan KPK yang dianggap sebagai "Superbody" ini membuat gerah para koruptor lainnya. Sehingga mereka berusaha menyerang balik dan melakukan perlawanan terhadap usaha pemberantasan korupsi. Kewenangan KPK mulai dipersoalkan, mulai dari kewenangan penyadapan, supervisi penanganan korupsi, sampai perilaku pejabat KPK. Malangnya, kasus Antasari Azhar semakin mengeruhkan KPK, sehingga ada "gerakan" membunuh KPK. Adakah usaha mereka untuk melenyapkan KPK akan berhasil?
Teks dan gambar: Buku135
Chandra M Hamzah: Advokat juga Bisa Memberantas Korupsi

Jangan tanya perasaan dong. Hahaha. Yang jelas ini adalah suatu amanah yang mesti dijalankan karena memang harapan bangsa Indonesia selain masalah perekonomian juga menginginkan adanya perbaikan terhadap penegakan hukum, terutama korupsi. Masyarakat Indonesia menganggap dengan adanya korupsi tersebut, maka hak-hak masyarakat yang seharusnya dinikmati masyarakat, hanya dinikmati oleh segelintir koruptor.
Sebenarnya saya juga berterima kasih. Dukungan dari manapun, itu adalah sebuah modal. Dukungan dan kepercayaan dari masyarakat, termasuk LSM dan masyarakat lainnya yang lebih banyak tidak bersuara, sangat diperlukan. Pesan saya, kita bisa membuat gerakan pemberantasan korupsi ini sebuah gerakan yang bersifat massal. Masyarakat, siapa pun juga, perlu melakukan upaya-upaya sederhana untuk tidak melakukan korupsi. Contohnya, jangan bayar polisi karena ditilang.
Karena pada dasarnya hal terbaik adalah adanya suatu masyarakat yang tidak korupsi tanpa harus diawasi, tanpa adanya penegak hukum. Itu idealnya. Tapi itu tidak mungkin. Kalau misalnya tidak, ada sebagian besar masyarakat yang tidak diawasi pun tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Yang pertama, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang lebih baik dibandingkan yang sekarang sehingga kita bisa lebih mempunyai dasar hukum untuk melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Kita perlu mengadopsi UNCAC (United Nations Convention Against Corruption 2003). Salah satu yang terpenting dari UNCAC ialah, bahwa penyitaan terhadap aset korupsi itu bukan hanya aset yang langsung diakibatkan tindak pidana korupsi, tetapi juga aset yang langsung maupun tidak langsung dihasilkan dari tindak pidana korupsi. Itu adalah pengembangan konsep mengenai aset hasil korupsi. Poin penting lainnya adalah, kategori pejabat publik bukan hanya pejabat yang menerima gaji dari negara, tetapi pejabat yang melakukan fungsi publik juga termasuk pejabat publik.
Ya betul. Jadi beberapa peraturan perundang-undangan perlu diselaraskan sehingga dapat menyesuaikan perkembangan terbaru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, yang terpenting lainnya adalah kerjasama internasional.
DPR sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk memilih pimpinan KPK sudah melakukan itu. Dengan komposisi sekarang tentu KPK diharapkan lebih baik, lebih maju. Sama-sama kita harapkan. Kalaupun terjadi hal-hal lain masyarakat bisa menilai, mengkritisi dan mengingatkan.
Dengan latar belakang saya sebagai advokat, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, mudah-mudahan saya bisa memberikan sudut pandang lain.
Selama ini polisi dan jaksa hanya melihat dari sudut pandang penyelidik dan penyidik. Saya bisa menunjukkan bukti bahwa komplikasi dari suatu transaksi yang digunakan untuk tindak pidana korupsi itu juga mungkin. Jadi tidak hanya korupsi-korupsi yang tradisional.
Pertama, bahwa saya pernah di TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) di Kejaksaan Agung. Walaupun itu bukan penyelidikan dan penyidikan, tapi saya pernah membantu. Kedua, apa yang dilakukan advokat sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan kejaksaan atau kepolisian. Misalnya, advokat mempunyai pekerjaan melakukan due diligence, yang bisa bersifat investigatif. Bahkan saya pernah ikut penyelidikan hukum yang bersifat investigatif untuk mengetahui di mana salahnya suatu transaksi dan segala macam. Dan itu sama dengan yang dilakukan kejaksaan atau kepolisian. Soal penuntutan, advokat juga terbiasa mengajukan gugatan perdata. Pada dasarnya itu ada kesamaan dengan dakwaan.
KPK tidak akan pernah bisa menangani seluruh kasus korupsi di Indonesia karena lembaganya kecil. Kalaupun bisa, maka KPK perlu dikembangkan sedemikian besar. Karena itu maka akan ada supervisi. Jadi pentingnya supervisi adalah bagaimana KPK dapat menggerakkan aparat-aparat penegak hukum di daerah untuk melakukan pemberantasan tipikor. Konsepnya cuma satu. Sederhana sekali. Setiap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum di tingkat yang paling bawah, menurut ketentuan Undang-Undang, harus dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 14 hari sejak dimulai penyilidikan. Hal ini, kabarnya, tidak pernah dilakukan. Seandainya dilakukan, itu akan bagus sekali. Begitu ada penyelidikan, langsung lapor kepada KPK. Kalau semuanya oke, KPK tidak perlu intervensi lagi. Sekali jalan bagus.
Nggak perlu melihat nominalnya. Selama penyelidikan dan penyidikan itu dilakukan aparat penegak hukum secara baik, dan berjalan dengan tidak menimbulkan korupsi lagi, KPK cukup mensupervisi dan melihat.
Saya jawab begitu dalam fit and proper test karena kewenangan mengadakan dan meniadakan KPK itu ada di DPR. Kita hanya pelaksana Undang-Undang. Tetapi harapan saya pribadi begini. Ada fungsi-fungsi KPK yang tidak pernah dijalankan oleh kejaksaan dan kepolisian yaitu supervisi, koordinasi dan monitoring. Kalau kita berkaca dari negara lain, di Hongkong misalnya, lembaga anti korupsinya sudah 20 tahun masih berjalan. Jadi kita hebat kalau KPK sampai 20 tahun.
Ad hoc berarti dibentuk oleh suatu lembaga, di mana lembaga itu memiliki kewenangan yang kemudian didelegasikan kepada lembaga ad hoc. Katakanlah Timtas Tipikor. Itu ad hoc, karena kewenangan sebenarnya ada di Kejaksaan Agung. Timtas Tipikor dibentuk sebagai lembaga ad hoc untuk melaksanakan fungsi tertentu.
Ada fungsi tertentu atau ada waktu tertentu. Tetapi yang jelas dia harus dibentuk lembaga yang sudah ada sebelumnya. Kalau KPK, dibentuk oleh DPR dan pemerintah melalui Undang-Undang. DPR tidak melimpahkan kewenangannya kepada KPK. Jadi KPK bukan lembaga ad hoc. Apalagi di UU tidak disebutkan.
Bukannya ambisi ingin jadi Ketua KPK. Bahwa saya ingin berpartisipasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena saya menganggap korupsi adalah proses pembodohan. Tidak jadi Ketua KPK tidak masalah.
Saya tinggalkan profesi saya, termasuk kasus-kasus yang sedang saya tangani. Sesuai Undang-Undang Advokat, advokat yang menjadi pejabat negara harus berhenti dari profesinya selama menjabat jabatan itu. Di Undang-Undang KPK juga begitu. Tentu untuk menghindari conflict of interest. (Her)