Tampilkan postingan dengan label Perppu Plt. Pimpinan KPK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perppu Plt. Pimpinan KPK. Tampilkan semua postingan

KPK: AWAL YANG KURANG BAGUS


(Disalin dari catatan Trimoleja D. Soerjadi dengan judul yang sama di facebook tertanggal Rabu 7 Oktober, pukul 13.41)

Kemarin Presiden SBY telah mengambil sumpah & melantik tiga orang Plt Pimpinan KPK untuk mengganti kekosongan pimpinan KPK yang terjadi karena Ketuanya dan dua Wakil Ketuanya, yakni Antasari Azhar, Chandra M Hamzah & Bibit Samad Riyanto telah dijadikan tersangka oleh Mabes Polri, sehingga sesuai ketentuan mereka telah diberhentikan sementara oleh Presiden. Ketiga orang Plt Pimpinan KPK tersebut adalah Tumpak H Panggabean, Waluyo & Mas Ahkmad Santosa.

Penunjukan tiga orang Plt pimpinan KPK tersebut didasarkan atas terbitnya Perppu no. 4/2009 yang kontroversial. Memang menerbitkan Perppu merupakan prerogatif Presiden, tetapi hal itu menjadi kontroversial ketika SBY menerbitkan Perppu tersebut dengan melanggar UU karena pasal 33(1) UU KPK menentukan bahwa dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon pengganti kepada DPR. Ketentuan inilah yang dilanggar SBY. Dengan menerbitkan Perppu tadi Presiden pada dasarnya telah memberikan kewenangan kepada dirinya sendiri untuk menunjuk & mengisi lowongan tadi. Ini tentu sangat berbahaya karena dengan cara itu SBY bisa mengintervensi & melemahkan kemandirian KPK yang dijamin pasal 3 UU KPK.dengan cara menunjuk orang-orang pilihannya sendiri sebagai Plt pimpinan Pimpinan sementara KPK.

Hal lain yang menjadi sumber kontroversi adalah alasan diterbitkannya Perppu. Meskipun Presiden wenang dalam keadaan genting yang mendesak menerbitkan Perppu, persoalannya adalah apakah benar adanya kekosongan pimpinan KPK dapat dikualifikasikan sebagai keadaan genting yang mendesak. Kenyataan bahwa tim 5 yang dibentuk diberi waktu satu minggu untuk merekomendasikan 3 nama calon pengganti pimpinan KPK kepada SBY, menafikan adanya keadaan genting yang mendesak. Setelah itu ketika SBY kembali dari lawatannya keluar negeri, ia tidak segera melantik ketiga orang tersebut karena SBY langsung ke Padang meninjau musibah gempa bumi hebat yang menimpa saudara saudara kita di Sumatera Barat. Artinya hampir dua minggu setelah Perppu diterbitkan, lowongan pimpinan KPK baru diisi. Lalu di mana keadaan genting yang memaksa yang dijadikan justifikasi menerbitkan Perppu tersebut ?

Karena reaksi keras publik, SBY kemudian menerbitkan Keppres menunjuk & membentuk tim terdiri atas 5 orang yakni Widodo AS (Menko Polhukam), Andi Mattalatta (Menkum & HAM), Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis & Taufikkurrahman Ruki. Tim inilah yang diserahi tugas untuk menyeleksi & merekomendasikan kepada Presiden nama tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK. Dan tiga orang yang direkomendasikan tim 5 tersebut di atas yang akhirnya dilantik SBY. Jadi SBY akhirnya urung menunjuk langsung sendiri tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK.

Apakah ini pertanda baik bahwa Pimpinan KPK yang sekarang sudah lengkap 5 orang akan mandiri dan bisa tegas tanpa tebang pilih memberantas korupsi ?. Belum tentu. Batu ujian yang akan menjadi tolok ukur apakah KPK serius & mampu memberantas korupsi, antara lain adalah bila bisa menuntaskan sampai ke Pengadilan Tipikor dan dijatuhinya pidana semua orang yang terlibat dalam skandal yang diungkap Agus Condro, dan skandal Bank Century. Dua kasus ini menjadi sorotan luas publik. Kasus Agus Condro sudah terang benderang sehubungan dengan aliran dana yang diungkap olehnya telah diterima sejumlah anggota DPR sewaktu pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda Gultom karena didukung hasil investigasi PPATK. Tetapi mengapa kasus ini sekian tahun macet tidak jelas juntrungnya ? Skandal Bank Century adalah batu ujian lainnya. Kasus ini kasus besar & berat karena diduga kuat adanya keterlibatan buaya di situ.

Ada masalah kontroversial lain dalam penunjukan tiga oarang Plt pimpinan KPK yang baru dilantik SBY. Pasal 29 hruf e UU KPK menentukan bahwa untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK setinggi-tingginya berusi 65 tahun. Tumpak H Panggabean (THP) yang lahir tahun 1943 telah melampaui usia itu. Mengapa meskipun demikian ia tetap diangkat ? Pengangkatannya jelas-jelas melanggar UU. Mengapa ia bisa lolos ? Menurut yang diberitakan majalah TEMPO, hal itu dikarenakan Menkum & HAM Andi Mattalatta ngotot minta agar yang bersangkutan tetap direkomendasikan kepada SBY meski ia tahu THP tidak memenuhi syarat ditinjau dari sisi usia. Ada apa di balik kengototan ini ? Ini sungguh tragis & ironis sekali. Seorang Menteri HUKUM & HAM yang seharusnya bisa menjadikan dirinya contoh & panutan bagi segenap lapisan masyarakat bagaimana siapapun juga harus taat hukum, justru entah untuk kepentingan apa dengan sadar & sengaja justru telah memberi contoh buruk melanggar undang undang. Mudah mudahan THP bukan kuda Troya yang dikhawatirkan Teten Masduki sengaja disusupkan Pemerintah untuk lebih lanjut mengobrak abrik & membusukkan KPK.

Singkat kata : (1) Terbitnya Perppu yang kontroversial, (2) Penunjukan 3 orang Plt pimpinan KPK oleh SBY yang melanggar pasal 33(1) UU KPK & (3) Penunjukan THP sebagai Plt pimpinan KPK yang melanggar pasal 29 huruf e UU KPK, jelas merupakan awal yang kurang bagus bagi KPK yang sekarang dipimpin oleh THP sebagai Plt Ketua KPK. Hanya kinerja KPK ke depan yang lebih bagus dan spektakuler dibandingkan dari sebelumnya, yang akan bisa membuktikan dan meyakinkan rakyat bahwa THP bukan kuda Troya. Semoga.
Naskah & foto: facebook Trimoelja D Soerjadi

Terpilihnya Tumpak Cs Bisa Lemahkan Penindakan KPK

Rabu, 7 Oktober 2009 - 13:16 wib
Lusi Catur Mahgriefie - Okezone

JAKARTA - Kuasa hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah menilai ada unsur melemahkan bidang penindakan KPK, di balik peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pelaksana tugas (plt) pimpinan sementara Komisi itu.

Demikian disampaikan salah satu kuasa hukum Bibit dan Chandra, Bambang Widjojanto saat dihubungi okezone, Rabu (7/10/2009).

"Tiga orang diberhentikan yaitu Antasari, Bibit, dan Chandra, sementara ketiganya yang punya background dari penindakan," ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, berdasarkan Perppu itu terpilih tiga orang pimpinan KPK sementara. Tapi hanya satu yang memiliki background penindakan.

"Hasil Tim Lima, yang punya background penindakan hanya Tumpak (Hatorangan Panggabean). Artinya jangan-jangan ada tujuan untuk melemahkan penindakan di KPK," tandas dia.

Sejak awal, Bambang beserta kelompok advokat dan rekan-rekan LSM bidang hukum tidak menyetujui adanya Perppu Plt KPK. Begitu pula Bibit dan Chandra.

Mereka mempertanyakan penafsiran Pasal 21 ayat (5) UU KPK tentang pimpinan kolektif di KPK. Dalam ayat itu hanya disebutkan bahwa pemimpin KPK bekerja secara kolektif tanpa menyebutkan jumlah anggota pimpinannya.

Hal tersebut di atas hanya satu di antara tiga alasan mereka menentang Perppu Plt KPK. Penentangan ini bahkan akan mereka sampaikan ke Mahkamah Konstitusi.

"Sejak awal tidak setuju dan tiga alasan yang dipersoalkan. Pertama, terkesan ada kepentingan memaksa dan terlalu mengada-ada," ungkapnya.

Kedua, Perppu mengambil alih kewenangan DPR karena seperti diketahui yang harus memilih itu DPR bukan Presiden melalui Tim Lima.

Kemudian ketiga, terkait tiga plt pimpinan sementara KPK di mana hanya satu orang yang memiliki background penindakan yakni Tumpak. Sementara Waluyo dan Mas Achmad Santosa tidak.

Hingga kini, tambah Bambang, pihaknya masih mengkaji rencana untuk mendatangi MK. (lsi)

Sumber: Okezone

Presiden Setujui Kriminalisasi Kewenangan KPK Jika Terbitkan Perppu

Rencana penunjukkan Plt pimpinan KPK juga bisa dipandang sebagai isyarat Presiden kepada kepolisian untuk mempercepat penyidikan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit S. Rianto.

"Harus diralat mas. Tidak ada penunjukkan langsung Pelaksana tugas pimpinan KPK dalam draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kami siapkan. Perppu itu seperti Undang-undang yang mengatur umum, jadi tidak akan menunjuk seseorang," ujar Direktur Perancangan Perundang-undangan Depkumham Suharyono, kepada hukumonline melalui telepon Selasa (22/9).

Saat ini wacana pembuatan Perppu untuk mengisi ‘kekosongan’ pimpinan KPK memang santer beredar di media massa. Bahkan sudah ada menyebutkan Presiden SBY sudah meneken Perppu untuk menunjuk pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK. Namun Suharyono buru-buru menepisnya.

Sebagai orang yang merumuskan draf Perppu itu, Suharyono menjelaskan hanya ada satu pasal dalam draf itu. "Pasal dalam draf Perppu itu akan membahas mengenai perubahan Pasal 33 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK," kata Suhariyono. Namun ia mengaku lupa bagaimana detil rumusan pasal draf Perppu itu. "Saya lagi nggak megang drafnya. Kalau tidak salah yang mau diubah soal pansel (panitia seleksi) mas."

Pasal 33 UU KPK yang terdiri dari dua ayat itu sendiri merumuskan tentang kewenangan presiden untuk mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK. Prosedur pengajuan calon penggantinya pun harus merujuk pada Pasal 29, Pasal 30 dan pasal 31.

Sekedar informasi, Pasal 29 UU KPK mengatur tentang syarat-syarat pimpinan KPK. Sementara Pasal 30 merinci tentang tahapan seleksi pimpinan KPK yang diawali oleh Panitia Seleksi sampai proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Sedangkan Pasal 31 menegaskan transparansi proses rekrutmen calon pimpinan KPK.

Setujui kriminalisasi
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra menyayangkan sikap presiden yang terkesan sangat ngotot mengeluarkan Perppu untuk menunjuk Plt pimpinan KPK. "Penerbitan Perppu itu sama sekali tak berdasar," kata Saldi, Selasa (22/9).

Menurut Saldi, tak ada kekosongan pimpinan di KPK saat ini meskipun tiga pimpinan lainnya sudah non aktif karena ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan Saldi menilai pembentukkan Perppu itu dapat ditafsirkan sebagai ‘restu’ presiden kepada kepolisian agar segera mempercepat proses penyidikan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto untuk secepatnya ditetapkan menjadi terdakwa. "Semakin jelas terlihat ada skenario besar dalam melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia."

Lebih lanjut Saldi berani menyatakan tindakan presiden adalah sebuah pelanggaran hukum jika benar-benar menunjuk Plt pimpinan KPK. Sebab, sebagai salah satu lembaga independen, proses pengisian pimpinan kelembagaan KPK tak bisa dilakukan secara sepihak oleh Presiden. Makanya dalam rumusan UU KPK disebutkan secara tegas bahwa proses pengisian pimpinan lembaga itu juga harus melibatkan peran DPR.

Sekedar mengingatkan, keberadaan KPK tak jauh berbeda dengan Komnas HAM, Komisi Yudisial atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagai lembaga independen, proses pengisian jabatan pimpinan di semua lembaga itu melewati beberapa tahapan. Mulai dari seleksi oleh Pansel yang dibentuk pemerintah sampai proses fit&proper test oleh DPR.

Saldi mengaku khawatir jika presiden benar-benar merealisasikan niatnya menunjuk Plt pimpinan ini melalui Perppu. "Akan menjadi preseden buruk kedepannya. Nanti kalau di kemudian hari presiden merasa terganggu dengan kinerja lembaga independennya, dia bisa dengan seenak hati mengeluarkan Perppu dan kemudian mengganti pimpinannya dengan orangnya dia."

Harus Ditolak
Tak hanya Saldi yang khawatir dengan rencana penerbitan Perppu itu. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) juga melayangkan sikap serupa. "Sikap Presiden yang ditunjukkan melalui penerbitan Perppu ini adalah posisi yang dianggap menyetujui upaya kriminalisasi terhadap kewenangan KPK serta merupakan bagian dari rangkaian usaha pelemahan gerakan antikorupsi di Indonesia," demikian PSHK dan LeIP dalam rilisnya yang diterima hukumonline.

Apa jadinya jika presiden keukeuh menerbitkan Perppu? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menggantungkan harapan kepada DPR. Hal ini karena Pasal 25 Ayat (3) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa DPR dapat menolak Perppu untuk menjadi undang-undang.

Namun dengan konstelasi kursi di DPR ke depan, Saldi tak yakin DPR berani menolak Perppu ini. "Artinya kita tidak bisa berharap banyak pada DPR. Satu-satunya cara adalah menolak dan mendesak supaya presiden tak menerbitkan Perppu yang sesat ini."

Bagaimana dengan kemungkinan mengajukan judicial review Perppu ke MK? "Secara substansi Perppu memang sama dengan Undang-Undang yang bisa di-judicial review. Tapi secara formil masih harus dikaji terlebih dulu," pungkasnya. (IHW)

Sumber: hukumonline