Tampilkan postingan dengan label Kejanggalan-kejanggalan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kejanggalan-kejanggalan. Tampilkan semua postingan

Lawyers to unveil engineering over case of KPK chairmen



Jakarta (ANTARA News) - A team of lawyers of suspended Corruption Eradication Commission (KPK) chairmen Bibit Samad Riyanto and Chandra Hamzah said they planned to unveil alleged engineering of the charges for their clients.

One of the team members, Bambang Widjojanto, said at the KPK headquarters here on Thursday the team had kept some strong evidence materials to prove the engineering that led to the naming of the KPK chairmen suspects.

"The data may possibly make all the consideration used on the case be changed," he said but declined to explain further about it.

He said the data would be useful for the public to get other version of the case.

So far, he said, the public had received imbalanced information that had led them to believe that the charges were not engineered.

"The data would show if the case is real or not, or wether it is engineered," he said.

He said the team believed the data would be useful to prove that the case had been engineered."We wish to prove it," he said.

Bambang said the data would unveil everything behind the bribery and power abuse charges that had been levelled at the KPK chairmen.

On the occasion Bambang also talked about a written testimony signed by Ary Muladi and Anggodo Widjojo dated July 15, 2009 that told about the chronology of the bribery allegation.

Bambang said with the data the team hoped they could unveil stories behind the written document.

"I gave you a clue, namely the data would explain everything," he said.

Another team member, Ahmad Rifai, said earlier that the police should not have used the written testimony as the basis for declaring someone as a suspect. He said they should have verified it first before declaring someone a suspect. "This isn`t fair," he said.(*)

Disoal, Testimoni Jadi Alat Bukti


13 Oktober 2009

JAKARTA - Tim pengacara dua pimpinan KPK mempertanyakan kembali digunakannya testimoni sebagai bukti terjadinya dugaan suap. Padahal, testimoni tidak dapat dijadikan bukti yang kuat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. ’’Jika (testimoni) bisa menjadikan orang tersangka, buat saja testimoni untuk menjatuhkan seseorang,’’ ujar Ahmad Rifai, anggota tim pengacara dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, di Gedung KPK, Senin (12/10).


Padahal menurutnya, testimoni tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan sebagai tersangka. Setelah beredar testimoni Antasari Azhar, dokumen bertanggal 15 Juli 2009 berisi testimoni Ary Muladi dan adik Anggoro Widjojo, Anggodo, soal kronologi suap di KPK juga beredar.


Di dalam berkas itu tercantum tanda tangan kedua orang tersebut di atas materai. Pengakuan kronologi inilah yang menjadi pegangan Polri untuk menelisik dugaan suap di KPK. Menurut Rifai, hal ini sangat aneh. Hal ini menyusul, pihak Ary melalui pengacaranya, Sugeng Teguh Santoso, menegaskan keterangan yang dibuat di dokumen itu tidak benar. ’’Perlu ditelusuri siapa pihak yang membuat testimoni,’’ ujarnya.(J13-62)


Foto: hukumonline.com

Berkas Dikembalikan, Polisi Didesak SP3

Senin, 12 Oktober 2009 19:46

JAKARTA - Desakan penghentian penyidikan dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan dugaan suap yang melibatkan Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah dan Bibit S Riyanto kembali muncul. Itu setelah adanya pengembalian berkas Chandra dari kejaksaan ke penyidik kepolisian.

"Kalau datanya kurang, (terbitkan) SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) saja," kata Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko di Jakarta kemarin (11/10). Menurutnya, sulit mengadili dugaan suap jika alat buktinya kurang.

Dia mempertanyakan alasan jika penyidik tetap melanjutkan penyidikan, sebab saksi Ari Muladi, yang disebut menyerahkan uang ke pimpinan KPK, justru telah mencabut keterangannya. "Kalau suap tidak ada, tinggal (kasus) penyalahgunaan wewenangnya. Itu pun masih dipermasalahkan," katanya.

Danang mengatakan, polisi harus profesional dalam menyidik kasus Chandra dan Bibit. Artinya, harus didasari dengan alat bukti dan bukan karena kepentingan tertentu. "Kalau dihentikan, itu justru menyelamatkan institusi Polri," terang dia.

Seperti diketahui, Kejagung mengembalikan berkas Chandra ke polisi dengan alasan berkas belum lengkap. Kekurangan terletak pada pasal yang disangkakan, yakni Pasal 12 huruf (e) jo Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor. Pasal itu mengatur tentang pemerasan/penyuapan. "Ada unsur-unsur yang harus dipertajam, misalnya dilengkapi dengan alat bukti," kata JAM Pidsus Marwan Effendy. Selain pasal itu, Chandra juga disangka dengan Pasal 23 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 421 KUHP. Sementara berkas Bibit belum dilimpahkan ke kejaksaan.

Terpisah, Ahmad Rivai dari Tim Pembela Hukum KPK mengungkapkan, sejak jauh hari polisi tak layak melimpahkan kasus itu ke Kejagung. "Memang proses itu sangat dipaksakan. Kejagung harus menolak itu," katanya, kemarin.

Dia menambahkan, kejanggalan penanganan kasus yang melibatkan Chandra dan Bibit makin menyeruak. Idealnya dalam penanganan kasus pidana, tersangka diproses belakangan. Para saksi yang mengetahui kasus itu diperiksa terlebih dahulu. "Kenyataannya justru tidak. Pemeriksaan tersangka dituntaskan dulu baru menyelesaikan saksi," ujarnya.

Bahkan dalam pemeriksaan itu, Chandra juga mengajukan saksi ahli atas kasus yang membelitnya. "Belum sampai saksi ahli diperiksa, perkara sudah dilimpahkan. Ini menandakan bahwa rekayasa kasus tersebut sangat murni," ujar advokat muda tersebut.

Bagaimana dengan kasus suap yang ditudingkan kepada pimpinan KPK? Sejak awal, kata Rivai, Kabareskrim sudah berterus terang kepada pimpinan KPK bahwa mereka bersih dari aliran dana. "Tapi mengapa dia memaksakan menangani kasus ini. Ini berarti ada pernyataan bohong," tuding Rivai.

Karena yang disangkakan tidak beralasan, sudah selayaknya polisi mengeluarkan SP3. "Karena selama ini juga tidak ada bukti yang menguatkan tudingan tersebut," ujarnya. Apalagi menyangkut dugaan penyalahgunaan kewenangan, sebab pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko S Tjandra sudah mengacu kolegialitas pimpinan KPK.(jpnn)

Sumber: jpnn.com

KPK: AWAL YANG KURANG BAGUS


(Disalin dari catatan Trimoleja D. Soerjadi dengan judul yang sama di facebook tertanggal Rabu 7 Oktober, pukul 13.41)

Kemarin Presiden SBY telah mengambil sumpah & melantik tiga orang Plt Pimpinan KPK untuk mengganti kekosongan pimpinan KPK yang terjadi karena Ketuanya dan dua Wakil Ketuanya, yakni Antasari Azhar, Chandra M Hamzah & Bibit Samad Riyanto telah dijadikan tersangka oleh Mabes Polri, sehingga sesuai ketentuan mereka telah diberhentikan sementara oleh Presiden. Ketiga orang Plt Pimpinan KPK tersebut adalah Tumpak H Panggabean, Waluyo & Mas Ahkmad Santosa.

Penunjukan tiga orang Plt pimpinan KPK tersebut didasarkan atas terbitnya Perppu no. 4/2009 yang kontroversial. Memang menerbitkan Perppu merupakan prerogatif Presiden, tetapi hal itu menjadi kontroversial ketika SBY menerbitkan Perppu tersebut dengan melanggar UU karena pasal 33(1) UU KPK menentukan bahwa dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon pengganti kepada DPR. Ketentuan inilah yang dilanggar SBY. Dengan menerbitkan Perppu tadi Presiden pada dasarnya telah memberikan kewenangan kepada dirinya sendiri untuk menunjuk & mengisi lowongan tadi. Ini tentu sangat berbahaya karena dengan cara itu SBY bisa mengintervensi & melemahkan kemandirian KPK yang dijamin pasal 3 UU KPK.dengan cara menunjuk orang-orang pilihannya sendiri sebagai Plt pimpinan Pimpinan sementara KPK.

Hal lain yang menjadi sumber kontroversi adalah alasan diterbitkannya Perppu. Meskipun Presiden wenang dalam keadaan genting yang mendesak menerbitkan Perppu, persoalannya adalah apakah benar adanya kekosongan pimpinan KPK dapat dikualifikasikan sebagai keadaan genting yang mendesak. Kenyataan bahwa tim 5 yang dibentuk diberi waktu satu minggu untuk merekomendasikan 3 nama calon pengganti pimpinan KPK kepada SBY, menafikan adanya keadaan genting yang mendesak. Setelah itu ketika SBY kembali dari lawatannya keluar negeri, ia tidak segera melantik ketiga orang tersebut karena SBY langsung ke Padang meninjau musibah gempa bumi hebat yang menimpa saudara saudara kita di Sumatera Barat. Artinya hampir dua minggu setelah Perppu diterbitkan, lowongan pimpinan KPK baru diisi. Lalu di mana keadaan genting yang memaksa yang dijadikan justifikasi menerbitkan Perppu tersebut ?

Karena reaksi keras publik, SBY kemudian menerbitkan Keppres menunjuk & membentuk tim terdiri atas 5 orang yakni Widodo AS (Menko Polhukam), Andi Mattalatta (Menkum & HAM), Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis & Taufikkurrahman Ruki. Tim inilah yang diserahi tugas untuk menyeleksi & merekomendasikan kepada Presiden nama tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK. Dan tiga orang yang direkomendasikan tim 5 tersebut di atas yang akhirnya dilantik SBY. Jadi SBY akhirnya urung menunjuk langsung sendiri tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK.

Apakah ini pertanda baik bahwa Pimpinan KPK yang sekarang sudah lengkap 5 orang akan mandiri dan bisa tegas tanpa tebang pilih memberantas korupsi ?. Belum tentu. Batu ujian yang akan menjadi tolok ukur apakah KPK serius & mampu memberantas korupsi, antara lain adalah bila bisa menuntaskan sampai ke Pengadilan Tipikor dan dijatuhinya pidana semua orang yang terlibat dalam skandal yang diungkap Agus Condro, dan skandal Bank Century. Dua kasus ini menjadi sorotan luas publik. Kasus Agus Condro sudah terang benderang sehubungan dengan aliran dana yang diungkap olehnya telah diterima sejumlah anggota DPR sewaktu pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda Gultom karena didukung hasil investigasi PPATK. Tetapi mengapa kasus ini sekian tahun macet tidak jelas juntrungnya ? Skandal Bank Century adalah batu ujian lainnya. Kasus ini kasus besar & berat karena diduga kuat adanya keterlibatan buaya di situ.

Ada masalah kontroversial lain dalam penunjukan tiga oarang Plt pimpinan KPK yang baru dilantik SBY. Pasal 29 hruf e UU KPK menentukan bahwa untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK setinggi-tingginya berusi 65 tahun. Tumpak H Panggabean (THP) yang lahir tahun 1943 telah melampaui usia itu. Mengapa meskipun demikian ia tetap diangkat ? Pengangkatannya jelas-jelas melanggar UU. Mengapa ia bisa lolos ? Menurut yang diberitakan majalah TEMPO, hal itu dikarenakan Menkum & HAM Andi Mattalatta ngotot minta agar yang bersangkutan tetap direkomendasikan kepada SBY meski ia tahu THP tidak memenuhi syarat ditinjau dari sisi usia. Ada apa di balik kengototan ini ? Ini sungguh tragis & ironis sekali. Seorang Menteri HUKUM & HAM yang seharusnya bisa menjadikan dirinya contoh & panutan bagi segenap lapisan masyarakat bagaimana siapapun juga harus taat hukum, justru entah untuk kepentingan apa dengan sadar & sengaja justru telah memberi contoh buruk melanggar undang undang. Mudah mudahan THP bukan kuda Troya yang dikhawatirkan Teten Masduki sengaja disusupkan Pemerintah untuk lebih lanjut mengobrak abrik & membusukkan KPK.

Singkat kata : (1) Terbitnya Perppu yang kontroversial, (2) Penunjukan 3 orang Plt pimpinan KPK oleh SBY yang melanggar pasal 33(1) UU KPK & (3) Penunjukan THP sebagai Plt pimpinan KPK yang melanggar pasal 29 huruf e UU KPK, jelas merupakan awal yang kurang bagus bagi KPK yang sekarang dipimpin oleh THP sebagai Plt Ketua KPK. Hanya kinerja KPK ke depan yang lebih bagus dan spektakuler dibandingkan dari sebelumnya, yang akan bisa membuktikan dan meyakinkan rakyat bahwa THP bukan kuda Troya. Semoga.
Naskah & foto: facebook Trimoelja D Soerjadi

KPK Laporkan SMS Ancaman ke Kapolri

JAKARTA, KOMPAS.com — Pesan singkat (SMS) berupa ancaman yang ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rupanya berbuntut panjang. Tim kuasa hukum KPK akan melaporkan hal tersebut kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, Senin (5/10) siang ini.

"Masalah SMS akan dilaporkan. Diduga itu dari nomor yang mempunyai tiga angka belakang 777," ujar kuasa hukum KPK, Ahmad Rifai, Senin.

Menurut dia, ancaman melalui SMS tersebut merupakan bentuk tindak pidana sehingga harus ditindak secara hukum. "Pertemuan tersebut antara jam satu sampai jam dua siang," ucapnya.

Beberapa waktu lalu beredar SMS ancaman terhadap dua penyidik KPK yang sedang mengusut kasus korupsi di Jawa Timur. Dalam SMS tersebut dikatakan, dua penyelidik tersebut sudah menjadi sasaran para sniper.

Rifai mengatakan, ancaman berupa SMS tidak hanya datang satu kali. KPK telah mendapat SMS ancaman sebanyak empat kali.

Selain itu, lanjutnya, tim kuasa hukum KPK menyertakan pelaporan dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komjen Susno Duadji. Hal tersebut disebabkan, pada 7 Juli 2009 KPK telah mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada Anggoro Widjoyo.

Surat yang dikirim KPK dengan Sprindik 25/01/VI/ 2009 tanggal 19 Juni 2009 dan disertai surat perintah penangkapan No KEP-04/P6KPK/VII/ 2009 bertanggal 7 Juli 2009 itu dikirim ke Kabareskrim dan Kapolda di seluruh Indonesia.

Namun sayang, surat itu tidak diindahkan dan Susno menemui Anggoro Widjoyo, tersangka kasus kasus suap proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan.

Sumber: kompas.com

Susno `met with fugitive suspect'

Irawaty Wardany , The Jakarta Post , Jakarta Sun, 10/04/2009 11:57 AM Headlines

The National Police's chief of detectives, Comr. Gen. Susno Duadji, met with the fugitive graft suspect Anggoro Widjojo in Singapore this year in flagrant dereliction of his duties, says a lawyer.

Ahmad Rifai, a lawyer for suspended Corruption Eradication Commission (KPK) deputy chairmen Bibit Samad Rianto and Chandra M. Hamzah, said Friday his clients had told him Susno had met with Anggoro despite knowing the antigraft body had imposed a travel ban on the latter and had a warrant out for him.

"The KPK leaders forwarded the warrant to the chief detective and all
provincial police chiefs across Indonesia on July 7, 2009, to seek the arrest of
Anggoro," Ahmad said in Jakarta.

"Three days later, on July 10, Susno met with Anggoro in Singapore, and he
later admitted to it at a meeting with the KPK leaders on July 15."



Anggoro is suspected of marking up the price of radio communications equipment for a Forestry Ministry project between 2006 and 2007, in a case that has caused an estimated Rp 180 billion (US$18 million) in state losses.

He is also suspected of bribing legislators Yusuf Erwin Faishal, Fachri Andi Leluasa, Hilman Indra and Azwar Chesputra from the House of Representatives' Commission IV on forestry and agriculture.

Yusuf was jailed for four-and-a-half years in the case, while the three others are still awaiting trial at the Corruption Court.

Suspended KPK chairman Antasari Azhar, facing murder charges, told police he had also met with Anggoro in Singapore in October 2008.

Bibit confirmed Ahmad's statement Saturday.

"Susno told *the KPK chairman and all four deputies* about his meeting with Anggoro," he said.

Police have charged Bibit and Chandra with alleged abuse of power for imposing and then lifting travel bans on Anggoro and fellow graft suspect Djoko S. Tjandra, who is wanted in connection with the Bank Bali scandal.

Ahmad accused Susno of abusing his power, saying the team of lawyers would report him to the National Police chief and President Susilo Bambang Yudhoyono on Monday.

University of Indonesia criminologist Bambang Widodo Umar said Susno would have to come clean about his meeting with a known fugitive.

"It'd be disastrous for him if the meeting had to do with a compromise relating to Anggoro's crime," he said.

"But if it was related to a personal matter between Susno and Anggoro, then he has no need to worry because we should be able to separate personal matters from professional ones."

As a high-ranking police officer who must have been aware of the KPK's warrant for Anggoro, Ahmad said, Susno should have known that his meeting with the fugitive would have been troublesome at best.

"He should at least have reported Anggoro's legal problems to the Singaporean police and sought to have him deported to Indonesia to face justice," he said.

Ahmad also called on National Police Inspector Comr. Gen. Yusuf Manggabarani to grill Susno over the meeting with Anggoro.

Susno will be questioned Monday by the police's Inspectorate General over an earlier report of abuse of power filed against him by Ahmad's team of lawyers.

Sumber: The Jakarta Post

Kisruh Rivalitas KPK vs Polri

Dicuplik dari "Kisruh Rivalitas KPK vs Polri" yang ditulis Rio T Simanjuntak, SH di Hukumonline:

Sehubungan dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang yang diutarakan oleh Polri, agaklah janggal apabila Polri berpendapat bahwa pimpinan KPK telah menyalahgunakan wewenang dikarenakan telah menerbitkan keputusan cekal pada saat Anggoro Widjaja masih diperiksa dalam status sebagai saksi. Polri mungkin berpendapat bahwa keputusan cekal tersebut terkait dengan isu pemerasan yang diduga dilakukan oleh pimpinan KPK, mengingat proses penyidikan kasus ini berawal dari kesaksian Antasari Azhar, Ketua KPK non aktif yang terlibat kasus pembunuhan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK, dikatakan bahwa KPK mempunyai kewenangan untuk mencekal seseorang baik dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pasal 12 ayat (1) menyatakan, ”Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

  1. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
  2. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian keluar negeri;
  3. …”

Bahwa definisi penyelidikan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa proses penyelidikan adalah proses untuk menentukan, apakah telah terjadi suatu tindak pidana yang artinya pada proses tersebut jelas belum ada pihak yang dikenakan status tersangka. Hal ini berbeda dengan proses penyidikan. Dalam proses penyidikan telah terdapat keyakinan bahwa telah terjadi suatu dan tindak pidana dan proses penyidikan merupakan proses untuk mencari bukti sekaligus tersangka tindak pidana tersebut.

Jadi, KPK memang berwenang untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang meskipun statusnya masih sebagai saksi. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru mengingat Penyidik Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 17 Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP/272/Pj/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan Tindak Pidana dibidang Perpajakan, mempunyai kewenangan yang sama, yaitu Penyidik Pajak berwenang untuk mengajukan permohonan pencegahan dan penangkalan (Cekal) kepada Kejaksaan Agung dengan kriteria bahwa terdapat dugaan bahwa saksi dan atau tersangka tersebut dikhawatirkan akan meninggalkan atau masuk ke wilayah Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut seharusnya Polri dalam menangani kasus ini bertindak secara profesional dan yang lebih utama lagi obyektif. Mengingat apabila Polri mempunyai teori bahwa keputusan cekal yang dikeluarkan oleh pimpinan KPK terhadap Anggoro Widjaja terkait dengan dugaan pemerasan, maka banyak muncul fakta yang sangat bertentangan. Yaitu apabila benar pimpinan KPK memeras dan menerima uang dari Anggoro Widjaja, tentunya justru keputusan cekal tidak akan dikeluarkan oleh pimpinan KPK dan tentunya dalam proses penyidikan KPK akan bersikap sangat lunak kepada Anggoro Widjaja.

Fakta bahwa Polri menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan wewenang berdasarkan keterangan seorang Antasari Azhar justru seharusnya membuat Polri bersikap hati-hati dalam mengambil tindakan, mengingat jelas bahwa kesaksian Antasasri Azhar jelas akan diragukan kebenarannya dan objektivitasnya. Terkecuali Polri memang memiliki bukti bahwa tindakan pemerasan yang diduga dilakukan oleh KPK, memang terjadi karena jelas bahwa berdasarkan laporan dari pihak Anggoro Widjaja orang yang memeras adalah orang yang bernama Ary Muladi dan Edi Sumarsono dan keduanya sama sekali tidak memiliki status apapun di KPK.

Jadi, Polri haruslah mampu membuktikan tuduhannya sekaligus membuktikan bahwa kasus pemerasan itu ada dengan membuktikan bahwa kedua orang tersebut di atas adalah benar orang suruhan pimpinan KPK. Dimana kegagalan Polri membuktikan hal tersebut merupakan bukti bahwa seluruh proses ini bukanlah suatu proses hukum yang obyektif, akan tetapi didasarkan pada rivalitas ataupun konflik antara kedua lembaga penegak hukum tersebut akibat kasus “cicak kok mau ngelawan buaya” yang jelas–jelas mengindikasikan bahwa proses penyidikan terhadap pimpinan KPK sangat dipaksakan dan terkesan dibuat-buat oleh Polri.

Menilik kepada kasus “cicak kok mau ngelawan buaya” justru cukup membingungkan, mengapa Polri sampai saat ini masih belum melaksanakan tindakan apapun terhadap Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol) Susno Duadji yang kabarnya justru melakukan tindakan melampaui wewenangnya sebagai Kabareskrim untuk melancarkan pencairan dana. Apalagi tidak dapat dibantah bahwa Susno Duadji terbukti telah mengirimkan surat kepada manajemen Bank Century yang isinya berkaitan dengan proses pencairan dana tersebut.

Fakta ini juga merupakan bukti awal yang cukup guna melaksanakan penyidikan penyalahgunaan wewenang, mengingat Polri tidak berwenang untuk memerintahkan pencairan rekening di suatu bank ataupun merekomendasikan pencairan dana milik orang tertentu terlebih atas adanya fakta bahwa bank tersebut sedang berada dalam suatu masalah. Dikarenakan hal tersebut jelas–jelas merupakan intervensi yang seharusnya tidak perlu terjadi dan apabila pencairan itu terjadi tentunya akan menimbulkan isu diskriminasi antar nasabah bank dan cenderung akan merugikan nasabah Bank Century yang lain yang dananya juga tidak bermasalah.

(Artikel selengkapnya di Hukumonline)

Polisi Diminta Hentikan Penyidikan Kasus Chandra dan Bibit


Sangkaan polisi berubah-ubah. Bibit ada di Peru saat disangka menerima suap di Bellagio Residence.

Tim Pembela meminta agar polisi menghentikan penyidikan perkara pimpinan KPK nonaktif Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Menurut penilaian Tim Pembela, sangkaan polisi terhadap suap tidak benar, diduga rekayasa dan rekaan semata. “Kami harap penyidikan tidak diteruskan lagi,” kata Luhut M.P. Pangaribuan, salah seorang anggota Tim Pembela.

Permintaan tersebut disampaikan Tim Pembela dalam pernyataan resmi di Jakarta, Minggu (27/9). Chandra Hamzah dan Bibit hadir dalam konperensi pers itu, didampingi sejumlah anggota Tim Pembela. Sampai saat ini Chandra dan Bibit belum pernah diperiksa secara khusus mengenai materi penyuapan dan pemerasan. Selama ini pemeriksaan masih terfokus pada dugaan penyalahgunaan wewenang.

Tuduhan suap terhadap Chandra dan Bibit memang masih menjadi tanda tanya. Namun pada Jum’at lalu, Kapolri Bambang Hendarso Danuri menyatakan uang dari Anggoro Widjaja diserahkan secara bertahap, pertama di Hotel Menara Peninsula, lalu di Bellagio Residence, dan parkiran Pasar Festival di Kuningan.

Bibit diduga menerima uang di Bellagio Residence, sedangkan di Pasar Festival diduga diberikan kepada Chandra Hamzah. Yang menyerahkan uang adalah Ari Muladi. Chandra dan Bibit mengaku ditanya apakah mengenal Ari Muladi, Eddy Sumarsono dan seseorang bernama Yulianto. Keduanya membantah mengenal, apalagi berkomunikasi dan bertemu.

Secara khusus, Bibit menyampaikan bukti yang menohok penyidik. Menurut sangkaan, Bibit bertemu Ari Muladi sekitar 12 sampai 18 Agustus 2008 di Bellagio Residence. Saat pertemuan itulah diduga terjadi penyerahan uang 1,5 miliar rupiah. Sangkaan itu langsung dibantah karena saat itu Bibit tengah berada di Peru. Ia menunjukkan bukti surat jalan dari KPK dan salinan paspor keberangkatan yang disahkan Kedubes Peru di Jakarta. Ia menyertakan tiket perjalanan ke wilayah Amerika Selatan itu. Itu sebabnya Bibit kesal dituduh menerima suap. “Mungkin Ari ketemu jin atau setan yang menyerupai saya,” ujarnya.

“Demi Allah, Bellagio Residence saja saya tidak tahu dimana,” sambung pensiunan polisi berbintang dua itu. Ia menyerahkan sepenuhnya penilaian atas kasus ini kepada masyarakat.

Luhut menyayangkan sikap polisi yang mempersangkakan suap tanpa didasari bukti permulaan yang cukup. Apalagi Ari Muladi sudah mencabut keterangannya terdahulu. Ari mengakui tidak pernah menyerahkan uang kepada Bibit dan Chandra sebagaimana dikabarkan selama ini.

Bantahan senada datang dari Chandra Hamzah. Chandra sampai bersumpah untuk menegaskan bahwa tuduhan menerima uang satu miliar di Pasar Festival tidak benar. Seumur hidup pun Chandra belum pernah mengenal, bertemu, dan berkomunikasi dengan Ari Muladi. Apalagi menerima yang dari pria yang sudah berstatus tersangka tersebut. “Saya tidak pernah memegang uang satu miliar,” ujarnya.

Soal penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjaja dan Joko S Tjandra, kata Chandra Hamzah, akan dipertanggungjawabkan menurut hukum. “Kami akan mempertanggungjawabkannya,” tandas Chandra Hamzah. (Mys)

Sumber: Hukumonline

Ada 2 Kejanggalan dalam Surat Pemanggilan Polri pada KPK

Mabes Polri melayangkan dua kali surat panggilan terhadap 8 pejabat KPK terkait testimoni Antasari Azhar. Namun ada 2 kejanggalan dalam surat tersebut.

Pertama, proses penyidikan dimulai sangat cepat. Berselang satu hari setelah laporan aduan dibuat, surat perintah penyidikan langsung terbit.

Dalam salinan surat yang dimiliki detikcom, laporan polisi bernomor LP/482/VIII/2000 tertanggal 25 Agustus 2009. Sedangkan surat perintah penyidikan dibuat pada tanggal 26 Agustus dengan nomor Sprin.Sidik/91.a/VIII/2009/Pidkor & WCC.

"Itu nggak wajar, bagaimana mungkin proses aduan sampai dimulainya penyidikan cuma sehari," kata peneliti ICW Emerson F Yuntho saat berbincang lewat telepon, Kamis (10/9/2009).


Kejanggalan lain adalah soal dasar pemeriksaan bagi para pejabat tersebut. Dalam surat panggilan pertama tertulis, seluruhnya dipanggil sebagai saksi atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan sebagaimana diatur dalam pasal 23 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Namun, pada surat pemanggilan kedua, para pimpinan dan staf dipanggil sebagai saksi bagi Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah, yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan sebagaimana diatur dalam pasal 23 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

"Kenapa berubah, sementara polisi menegaskan belum ada tersangka dalam kasus ini," tegasnya.


Emerson meminta kepolisian bekerja profesional dalam penyidikan kasus ini. Jangan sampai tuduhan penyalahgunaan wewenang justru diarahkan pada kepolisian karena bertindak semena-mena dalam pemeriksaan. (mad/nrl)

Sumber: Detik

Banyak Kejanggalan dalam Pemeriksaan Pimpinan KPK


Selain dianggap sebagai kriminalisasi, kepolisian juga dianggap melakukan diskriminasi karena tak kunjung memeriksa laporan KPK terkait dugaan pencemaran nama baik oleh Antasari Azhar.

"Bisa kita sebut tindakan dari Kabareskrim adalah tindakan kriminal," teriak Emerson Yuntho, Wakil Koordinator ICW menanggapi pemeriksaan empat pimpinan KPK oleh mabes Polri Jumat (11/9) lalu. Keempat pimpinan KPK itu dipanggil dengan tuduhan melanggar Pasal 23 UU Pemberantasan Korupsi.

Emerson bersama beberapa aktivis dan praktisi hukum yang bergelut dengan isu anti korupsi lainnya sangat mengecam tindakan polisi itu. Betapa tidak, polisi memanggil para pimpinan KPK karena dianggap melanggar kewenangannya ketika mencekal bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjaja yang waktu itu belum berstatus sebagai tersangka.

Padahal, lanjut Emerson, berdasarkan Pasal 12 Ayat (1) huruf b UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK berwenang memerintahkan instansi lain yang terkait untuk melarang seseorang bepergian keluar negeri. "Artinya ada upaya kriminalisasi terhadap tindakan yang dilakukan oleh KPK," tegas Emerson kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/9).

Lebih jauh Emerson menduga ada motif tertentu di balik pemanggilan para pimpinan KPK itu. Pasalnya, polisi terlihat lebih antusias menanggapi laporan Anggoro ketimbang memproses laporan beberapa pimpinan KPK terhadap Antasari beberapa waktu lalu dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. "Yang jadi pertanyaan serius adalah kenapa tidak diprioritaskan juga oleh Polri? Sejauh ini tidak pernah didengar ada pemanggilan pihak-pihak tertentu."

Perasaan ‘diskriminasi’ yang dilontarkan Emerson tampaknya makin kentara ketika mengetahui fakta bahwa ternyata kejaksaan juga pernah melakukan tindakan pencekalan terhadap Hartono Tanoesudibyo dalam kasus korupsi Sisminbakum yang juga masih berstatus sebagai saksi. Namun tak ada satu pun pimpinan kejaksaan yang diperiksa oleh polisi seperti halnya pimpinan KPK.

Emerson juga menegaskan bahwa Polri harus bersifat profesional. "Ada kesan bahwa Polri menerima titipan dari pihak-pihak tertentu. Wacana yang terdengar adalah menghilangkan pimpinan KPK yang lama dan mencari pimpinan KPK yang baru."

Sependapat dengan Emerson, praktisi hukum Bambang Widjojanto juga menyatakan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK adalah ujung dari proses menghancurkan gerakan pemberantasan KPK. "Kriminalisasi ditunjukkan pada orang per orang (pimpinan KPK). Tentu sesungguhnya bukan orang, tapi lembaga. Kewenangan dari lembaga KPK yang ingin dihancurkan."

Menurut Bambang, kriminalisasi ini dikhawatirkan akan menurunkan kinerja KPK. "Penindakan yang dilakukan KPK akan turun dan orang-orang yang dipanggil KPK akan mikir-mikir untuk datang atau nggak."

Kolega Bambang yang juga advokat, Iskandar Sonhadji menyatakan bahwa tindakan kepolisian itu sudah keluar dari wewenangnya sebagai penyidik. "Walau kita tahu polisi itu penegak hukum tapi kalau kita lihat proses yang ada bahwa pimpinan KPK itu ditanya tentang prosedur penyidikan, pencekalan dan lainnya, seolah-oleh Bareskrim bertindak sebagai lembaga yudikatif yang menguji peraturan dan tindakan yang dilakukan KPK."

Iskandar juga menyatakan bahwa dalam sebuah proses penyidikan biasanya penyidik akan menggunakan pola induktif. Artinya, ditemukan sebuah kasus terlebih dahulu baru meluas kepada peraturannya. "Tapi dalam kasus empat pimpinan KPK ini, kayaknya dibalik. Jadi Bareskrim itu memeriksa aturannya dulu sedangkan kasus materialnya belum jelas. Diharapkan pihak penyidik bersifat profesional dengan fungsi semula yaitu melakukan penyidikan."

Lebih lanjut Emerson berharap KPK tak kehilangan konsentrasi untuk terus mengusut kasus-kasus korupsi dengan kejadian ini. Ia bahkan mendesak agar KPK segera mengusut keterlibatan petinggi Polri dalam kasus Bank Century. "Apalagi Kapolri sudah mengijinkan Kabareskrim Susno Duadji diperiksa oleh KPK."

Untuk membela KPK, lanjut Emerson, Koalisi LSM bersama beberapa advokat membentuk Tim Pembela Kriminalisasi KPK. "Ini inisiasi masyarakat penegak hukum melihat satu tindakan dari kepolisian yang memperlakukan KPK seperti itu." Dalam kesempatan itu pula, Emerson juga mengungkapkan bahwa pernyataan sikap dari presiden diperlukan untuk memperlihatkan keberpihakannya terhadap upaya pemberantasan korupsi. "Dia mendukung KPK soal penguatan kewenangan KPK atau tidak? Dilihat dari poses-proses kriminalisasi dan regulasi, Presiden tidak pernah mengambil sikap disini." (M-8)
Sumber: Hukumonline