Sehubungan dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang yang diutarakan oleh Polri, agaklah janggal apabila Polri berpendapat bahwa pimpinan KPK telah menyalahgunakan wewenang dikarenakan telah menerbitkan keputusan cekal pada saat Anggoro Widjaja masih diperiksa dalam status sebagai saksi. Polri mungkin berpendapat bahwa keputusan cekal tersebut terkait dengan isu pemerasan yang diduga dilakukan oleh pimpinan KPK, mengingat proses penyidikan kasus ini berawal dari kesaksian Antasari Azhar, Ketua KPK non aktif yang terlibat kasus pembunuhan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK, dikatakan bahwa KPK mempunyai kewenangan untuk mencekal seseorang baik dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pasal 12 ayat (1) menyatakan, ”Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
- melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
- memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian keluar negeri;
- …”
Bahwa definisi penyelidikan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa proses penyelidikan adalah proses untuk menentukan, apakah telah terjadi suatu tindak pidana yang artinya pada proses tersebut jelas belum ada pihak yang dikenakan status tersangka. Hal ini berbeda dengan proses penyidikan. Dalam proses penyidikan telah terdapat keyakinan bahwa telah terjadi suatu dan tindak pidana dan proses penyidikan merupakan proses untuk mencari bukti sekaligus tersangka tindak pidana tersebut.
Jadi, KPK memang berwenang untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang meskipun statusnya masih sebagai saksi. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru mengingat Penyidik Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 17 Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP/272/Pj/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan Tindak Pidana dibidang Perpajakan, mempunyai kewenangan yang sama, yaitu Penyidik Pajak berwenang untuk mengajukan permohonan pencegahan dan penangkalan (Cekal) kepada Kejaksaan Agung dengan kriteria bahwa terdapat dugaan bahwa saksi dan atau tersangka tersebut dikhawatirkan akan meninggalkan atau masuk ke wilayah Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut seharusnya Polri dalam menangani kasus ini bertindak secara profesional dan yang lebih utama lagi obyektif. Mengingat apabila Polri mempunyai teori bahwa keputusan cekal yang dikeluarkan oleh pimpinan KPK terhadap Anggoro Widjaja terkait dengan dugaan pemerasan, maka banyak muncul fakta yang sangat bertentangan. Yaitu apabila benar pimpinan KPK memeras dan menerima uang dari Anggoro Widjaja, tentunya justru keputusan cekal tidak akan dikeluarkan oleh pimpinan KPK dan tentunya dalam proses penyidikan KPK akan bersikap sangat lunak kepada Anggoro Widjaja.
Fakta bahwa Polri menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan wewenang berdasarkan keterangan seorang Antasari Azhar justru seharusnya membuat Polri bersikap hati-hati dalam mengambil tindakan, mengingat jelas bahwa kesaksian Antasasri Azhar jelas akan diragukan kebenarannya dan objektivitasnya. Terkecuali Polri memang memiliki bukti bahwa tindakan pemerasan yang diduga dilakukan oleh KPK, memang terjadi karena jelas bahwa berdasarkan laporan dari pihak Anggoro Widjaja orang yang memeras adalah orang yang bernama Ary Muladi dan Edi Sumarsono dan keduanya sama sekali tidak memiliki status apapun di KPK.
Jadi, Polri haruslah mampu membuktikan tuduhannya sekaligus membuktikan bahwa kasus pemerasan itu ada dengan membuktikan bahwa kedua orang tersebut di atas adalah benar orang suruhan pimpinan KPK. Dimana kegagalan Polri membuktikan hal tersebut merupakan bukti bahwa seluruh proses ini bukanlah suatu proses hukum yang obyektif, akan tetapi didasarkan pada rivalitas ataupun konflik antara kedua lembaga penegak hukum tersebut akibat kasus “cicak kok mau ngelawan buaya” yang jelas–jelas mengindikasikan bahwa proses penyidikan terhadap pimpinan KPK sangat dipaksakan dan terkesan dibuat-buat oleh Polri.
Menilik kepada kasus “cicak kok mau ngelawan buaya” justru cukup membingungkan, mengapa Polri sampai saat ini masih belum melaksanakan tindakan apapun terhadap Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol) Susno Duadji yang kabarnya justru melakukan tindakan melampaui wewenangnya sebagai Kabareskrim untuk melancarkan pencairan dana. Apalagi tidak dapat dibantah bahwa Susno Duadji terbukti telah mengirimkan surat kepada manajemen Bank Century yang isinya berkaitan dengan proses pencairan dana tersebut.
Fakta ini juga merupakan bukti awal yang cukup guna melaksanakan penyidikan penyalahgunaan wewenang, mengingat Polri tidak berwenang untuk memerintahkan pencairan rekening di suatu bank ataupun merekomendasikan pencairan dana milik orang tertentu terlebih atas adanya fakta bahwa bank tersebut sedang berada dalam suatu masalah. Dikarenakan hal tersebut jelas–jelas merupakan intervensi yang seharusnya tidak perlu terjadi dan apabila pencairan itu terjadi tentunya akan menimbulkan isu diskriminasi antar nasabah bank dan cenderung akan merugikan nasabah Bank Century yang lain yang dananya juga tidak bermasalah.
(Artikel selengkapnya di Hukumonline)
0 komentar:
Posting Komentar